Friday 25 July 2008

Raja Buton Masuk Islam

Kerajaan Buton secara rasminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu Timbang Timbangan atau Lakilapotan atau Halu Oleo. Bagindalah yang diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahawa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Kemudian beliau sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu Gatas yang termasuk dalam pemerintahan Buton.

Di Pulau Batu Gatas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Baginda langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M.

Walau bagaimanapun. Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan kerana daripada sumber yang lain disebutkan bahawa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus iaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.

Dalam riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru beliau yang sengaja didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum.

Ketika diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000 di Pekan Baru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan beberapa aspek tentang Buton, yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari Buton. Hasil wawancara saya kepadanya adalah sebagai berikut:

  1. Syeikh Abdul Wahid pertama kali sampai di Buton pada tahun 933 H/1526 M.
  2. Syeikh Abdul Wahid sampai ke Buton kali kedua pada tahun 948 H/1541 M.
  3. Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua di Buton pada tahun 948 H/1541 M bersama guru beliau yang bergelar Imam Fathani. Ketika itulah terjadi pengislaman beramai-ramai dalam lingkungan Istana Kesultanan Buton dan sekali gus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton pertama.

Maklumat lain, kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul Kabanti Kanturuna Mohelana Sebagai Sumber Sejarah Buton, menyebut bahawa Sultan Murhum, Sultan Buton yang pertama memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M - 1537 M. Menurut Maia Papara Putra dalam bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki Dalam Lembaga Kitabullah, bahawa ``Kesultanan Buton menegakkan syariat Islam ialah tahun 1538 Miladiyah.

Jika kita bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang disebutkan oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi (1537 M), bererti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan Murhum tidak menjadi Sultan Buton lagi kerana masa beliau telah berakhir pada tahun 1537 M. Setelah meninjau pelbagai aspek, nampaknya kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun 948 H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan.

Yang menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut bahawa ``Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948 H/1541 M itu bersama Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton, sekali gus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama. Apa sebab Sultan Buton yang pertama itu dilantik/dinobatkan oleh Imam Fathani ? Dan apa pula sebabnya sehingga Sultan Buton yang pertama itu bernama Sultan Murhum, sedangkan di Patani terdapat satu kampung bernama Kampung Parit Murhum.

Kampung Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh aktiviti Kesultanan Fathani Darus Salam pada zaman dahulu. Semua yang tersebut itu sukar untuk dijawab. Apakah semuanya ini secara kebetulan saja atau pun memang telah terjalin sejarah antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum diketahui oleh para penyelidik.

Namun walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis bahawa ada hubungan antara Patani dengan Ternate. Dan cukup terkenal legenda bahawa orang Buton sembahyang Jumaat di Ternate.

Jika kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang bercorak Islam mahu pun sekular, terdapat perbezaan yang sangat ketara dengan pemerintahan Islam Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan Martabat Tujuh. Daripada kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahawa kerajaan Islam Buton lebih mengutamakan ajaran tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri. Walau bagaimanapun ajaran syariat tidak diabaikan.

Semua perundangan ditulis dalam bahasa Walio menggunakan huruf Arab, yang dinamakan Buru Wolio seperti kerajaan-kerajaan Melayu menggunakan bahasa Melayu tulisan Melayu/Jawi. Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk perundangan, juga digunakan dalam penulisan salasilah kesultanan, naskhah-naskhah dan lain-lain. Tulisan tersebut mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan Indonesia 1945.

Thursday 10 July 2008

Budaya Materi

Oleh Antariksa

Apa makna benda-benda bagi manusia? Baik dari sudut pandang masyarakat tradisional maupun masyarakat modern pertanyaan ini bisa dijawab dengan dua hal, yang merupakan pokok kajian budaya materi (budaya pemanfaatan benda-benda oleh manusia, bagaimana manusia berhubungan dengan benda).

pertama, benda-benda bisa diletakkan dalam perspektif fungsional saja. Dalam perspektif ini sebuah piring berfungsi sebagai wadah makanan, senjata berfungsi sebagai alat berburu dan mempertahankan diri terhadap serangan musuh, sepatu berfungsi sebagai pelindung kaki dsb. Fenomena peradagangan/ekonomi juga masih termasuk dalam perspektif ini. Yang kedua, benda-benda bisa juga diletakkan dalam perspektifnya sebagai totem, yaitu diasosiakan secara simbolik dengan sesuatu yang lain. Di sini benda-benda berperan sebagai pembawa maknamakna sosial tertentu. Cincin misalnya, yang tak terlalu penting dalam perspektif fungsional, dalam perspektif totem bisa bermakna kecantikan, kekayaan, atau ikatan kesetiaan dsb. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa benda-benda, seperti diteorisikan Mary Douglas (antropolog) dan Baron Isherwood (ekonom) (1979), mampu mengkongkretkan makna-makna sosial yang abstrak seperti kesetiaan, kepatuhan, dsb.

Menurut Douglas dan Isherwood konsumsi benda-benda yang terjadi dalam semua masyarakat adalah juga di luar perdagangan, ia selalu merupakan sebuah fenomena kebudayaan, selalu berkaitan dengan nilai-nilai, makna-makna, dan komunikasi. Benda-benda bukan hanya dipakai untuk melakukan sesuatu, melainkan juga punya makna dan bertindak sebagai tanda makna dalam hubungan sosial, selalu memamerkan seperangkat nilai tertentu. Hal ini juga berarti bahwa dalam sirkulasi benda-benda telah terjadi sebuah pertukaran simbolik.

Douglas dan Isherwood secara khusus menyelidiki upacara-upacara, baik dalam masyarakat tradisional maupun modern, yang menurut mereka berfungsi sebagai tempat untuk penciptaan makna benda-benda dengan cara memperlihatkan kegunannya dalam upacara. Karena upacara-upacara merupakan acuan klasifikasi seseorang dalam masyarakat, maka benda-benda secara langsung berperan sebagai sumber identitas sosial dan pembawa makna sosial.

Marshal Sahlins (1976) mengembangkan konsep totemisme ini untuk menyelidiki konsumsi bendab-enda dalam masyarakat modern. Menurutnya, jika masyarakat tradisional menggunakana benda-benda 'alamiah' (kayu, batu, tulang dsb.) sebagai totem, maka totem masyarakat modern adalah benda-benda buatan pabrik. Ia menunjukkan bagaimana sistem pakaian masyarakat modern bukan sekedar seperangkat objek materi untuk membuat hangat tubuh dsb., tetapi sebagai kode simbolik untuk mengkomunikasikan keanggotaan dalam suatu kelompok sosial (priawanita, kelas ataskelas bawah dsb.). Lewat pakaian masyarakat modern mengkomunikasikan keanggunan perempuan, keperkasaan lakilaki, dan kehalusan kelas bangsawan.

McCracken (1988) juga mengidentifikasi pemanfaatan benda-benda konsumen dalam ritual-ritual masyarakat kontemporer. Ia mengajukan beberapa ritual masyarakat kontemporer paling penting. Pertama, 'upacara pemberkatan', yang meliputi pengumpulan, pembersihan, perbandingan, dan pertunjukkan benda-benda. Dekorasi kamar tidur dengan poster-poster. Upacara ini memungkinkan pemiliknya mengklaim hak atas makna sebuah objek di luar batas kepemilikan biasa. Ini merupakan cara mempersonalisasikan objek, cara memindahkan makna dari dunia individu kepada benda yang baru diperoleh. Ia mencontohkan upacara hadiah, misalnya pada hari ulang tahun, hari natal, atau hari kasih sayang. Pemilihan dan pemberian benda-benda konsumen oeh seseorang dan diberikan kepada orang lain merupakan sebuah perpindahan makna. Seringkali sebuah benda dipilih sebagai hadiah karena benda tersebut memiliki makna kepemilikan yang penuh yang ingin diberikan kepada orang lain. Misalnya, seorang perempuan yang menerima sebuah pakaian diundang untuk mendefinisikan dirinya menurut makna gayanya; pemberi bunga atau coklat mungkin meminta penerimanya untuk menunjukkan sifat kelembutan atau sifat yang manis. Dari perspketif ini, pemberian benda-benda pada suatu upacara (hari ulang tahu, hari raya dsb.) dapat dipandang sebagai sarana yang paling tepat dalam komunikasi antarpribadi atau pengaruh antarpribadi.

Budaya materi, dalam pandangan Marx, adalah objektifikasi kesadaran sosial. Ini berawal dari distingsi Marx antara produksi yang bermanfaat langsung bagi pembuatnya dengan produksi yang semata-mata untuk kepentingan pasar. Proses yang terakhir inilah yang disebut Marx benda sebagai komoditas. Meskipun tak mengalami bentuk-bentuk budaya materi modern, ia kemudian sampai pada konsep fetishisme komoditas yang menggambarkan penyembunyian cerita tentang siapa dan bagaimana sebuah objek dibuat.

Dalam fetishisme modern, kegunaan benda-benda didistorsi secara sistematis oleh pencarian keuntungan kapitalis. Dan jelas bahwa kebutuhan untuk mencari untung ini telah secara dramatis melahirkan benda-benda baru yang dijual hanya untuk memanipulasi konsumen.

Theodore W. Adorno (1974), penginterpretasi Marx dari Kelompok Frankfurt yang dihormati, mengintrodusir knsep nilai guna sekunder. Konsep ini menunjukkan fenomen konsumsi dalam masyarakat inddustri dimana melalui kemasan, promosi dan iklan, benda-benda dicocokkan dengan topengtopeeng yang didesain secara ekspresif untuk memanipulasi hubungan yang mungkin terjadi antara benda-benda pada satu sisi serta keinginginan, kebutuhan dan emosi manusia di sisi lain. Nilai guna sekunder berjalan begitu dominasi nilai tukar telah diatur untuk menghapus ingatan mengenai nilai guna murni benda-benda. Ini adalah dasar bagi estetika komoditas, dimana komoditas berperan bebas dalam asosiasi dan ilusi budaya yang sangat luas. Iklan secara khusus mampu mengeksploitasi kebebasn ini untuk menampilkan citra romantis, eksotik, kepuaasan, atau kehidupan yang baik dengan memperkenalkan barang-barang konsumen seperti sabun, mesin cuci, mobildan minuman beralkohol. Ini persis dengan yang dikatakan Douglas dan Isherwood tentang kemampuan benda-benda untuk mengkonkretkan maknamakna sosial yang abstrak, tetapi dalam hal ini Adorno mampu menunjukkan peran media massa modern dalam proses pengkongkretan ini.

Sejalan dengan langkah Adorno, Celia Lury (1996) menunjukkan bahwa kelemahan studi budaya materi seperti yang dilakukan Douglas dan Isherwood adalah bahwa mereka hanya memperlakukan benda-benda sebagai media nonverbal untuk kemampuan kreatif manusia. Mereka gagal untuk secara meyakinkan mengkaji isuisu mengenai kekuatan dan kontrol simbolik.

Arjun Appadurai (1986) mempercanggih metodologi Douglas dan Isherwood dengan secara langsung memusatkan kajiannya pada 'kehidupan sosial benda-benda'. Ia menyatakan bahwa benda-benda bukan hanya bersifat sosial dan budaya semata, melainkan benda-benda itu mempunyai kehidupan: bobot dan otoritas benda dapat dipaksakan dalam kehidupan manusia, karena memiliki kekuatan untuk mempengaruhi keyakinan, memberi kewajiban, penampilan, dan kesenangan. Walaupun dari sudut teoritis manusia sebagai pelaku menandai benda-benda dengan sebuah arti, namun dari sudut metodologis pergerakan bendalah yang meghiasi konteks sosial dan kemanusiaan mereka.
Secara agak mengejutkan, benda-benda dikajinya secara naratif, dituturkan sebagai kisah dengan sarana 'sejarah kehidupannya'. Pendeknya ia menelusuri narasi benda-benda dan jalur lintasannya: darimana benda berasal, siapa pembuatnya, apa gunanya, berapa 'umur' atau 'periode kehidupan' benda tersebut, apa ciriciri budaya untuknya, bagiamana kegunaan benda berubah sesuai umurnya dsb.

Contoh yang bagus untuk pendekatan model Appadurai ini adalah studi Dick Hebdige tentang "siklus skuter Itali" (1988). Hebdige menyelediki apa yang disebutnya dengan 'kepentingan budaya' sebuah objek. Kepentingan ini digali dengan menelusuri perubahan arah yang dialmpaui dalam sirkuasi benda-benda.

Strategi studinya adalah dengan mengikuti fluktuasi makna sosial skuter dan kemudian menarasikannya; Hebdige menunjukkan. bahwa skuter yang mula diasosiakan dengan status sosial yang rendah karena bentuknya yang mirip mainan anak-anak , kemudian melonjak menjadi objek yang dipuja karena diasosiakan dengan kenecisan dan modern pada awal '60an, dan kemudian status skuter yang sekarang adalah sebagai benda nostalgia. Pada awal peluncurannya, skuter didefinisikan sebagai 'perempuan', ia dianggap sebagai kendaraan lakilaki. Dan sebagai perempuan, skuter dihidupkan dalam harapan mengenai 'perkawinan'. Pabrikpabrik motor di Inggris, yang terkenal dengan 'kelelakiannya' kemudian dipaksa memproduksi skuter, sebuah kendaran yang lebih 'feminin' dan 'ramping'. Pada awal kemunculannya di Inggris, dengan dalih "referensi maskulinitas dan keperkasaan", skuter secara moral bahkan dicurigai sebagai anti etos kerja keras. Tetapi kemudian 'perkawinan' antara sepeda motor dan skuter berlangsung juga. Hebdige mencontohkan bahwa pada tahun '50-an skuter adalah ancaman terbesar bagi industri sepeda motor Inggris; dalam sebuah pameran 3 sepeda motor harus bersaing dengan 50 skuter. Skuter kemudian menjalani hidup baru setelah 'percerainnya' dengan sepeda motor. "Keitalian" sebuah skuter menjadi penting, dan kefisienan desainnya menjadi simbol objek masa depan. Keriangan kehidupan baru skuter ini kemudian berubah sejak pertemuannya dengan klub-klub pecinta skuter dan balap skuter. Pertemuan ini ini membawa skuter kepada identitas sebuah subkultur tertentu.

Dan di masa-masa akhir hidupnya, dengan hadirnya sekolah-sekolah desain produk modern, kesempurnaan desain skuter didramatisir dan menjadi ajang estetikasi kehidupan sehari-hari. Kejayaan skuter akhirnya benar-benar runtuh karena munculnya sepeda motor-sepeda motor kecil buatan Jepang, juga karena kewajiban memakai helm yang membuat naik skuter tak setrendi pada masa-masa sebelumnya.

Kebudayaan yang Maskulin, Macho, Jantan dan Gagah

Oleh Nuraini Juliastuti

Mengapa semua laki-laki harus maskulin dan perempuan harus feminin? Mengapa laki-laki harus tampak jantan dan perempuan harus tampil lembut? Mengapa semua laki-laki cenderung mempunyai posisi lebih tinggi dari perempuan? Apakah hanya karena persoalan dia “laki-laki” dan dia “perempuan? Ataukah karena “dikonstruksikan secara sosial”?

Pertanyaan-pertanyaan diatas, seperti juga pertanyaan-pertanyaan tentang kematian, tuhan, dan kehidupan, mungkin adalah pertanyaan-pertanyaan abadi. Persoalan-persoalan seputar jagad perempuan dan jagad laki-laki seperti ketegangan abadi yang tidak pernah mereda.

Laki-laki, beruntung atau tidak, selalu menempati posisi lebih tinggi dari perempuan. Konsep budaya yang menempatkan posisi laki-laki lebih sempurna dari perempuan, dan yang mengharuskan laki-laki dan perempuan bertindak sehari-hari menurut garis tradisi sedemikian rupa sehingga perempuan berada dalam posisi “pelengkap” laki-laki, semuanya berakar pada budaya patriarki.

Juliet Mitchell (1994) mendeskripsikan patriarki dalam suatu term psikoanalisis yaitu “the law of the father” yang masuk dalam kebudayaan lewat bahasa atau proses simbolik lainnya. Menurut Heidi Hartmann (1992), salah seorang feminis sosialis, patriarki adalah relasi hirarkis antara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki lebih dominan dan perempuan menempati posisi subordinat. Menurutnya, patriarki adalah suatu relasi hirarkis dan semacam forum solidaritas antar laki-laki yang mempunyai landasan material serta memungkinkan mereka untuk mengontrol perempuan. Sedangkan menurut Nancy Chodorow (1992), perbedaan fisik secara sistematis antara laki-laki dan perempuan mendukung laki-laki untuk menolak feminitas dan untuk secara emosional berjarak dari perempuan dan memisahkan laki-laki dan perempuan. Konsekuensi sosialnya adalah laki-laki mendominasi perempuan.

Superioritas laki-laki atas perempuan bisa dirunut mulai dari jaman penciptaan Adam dan Hawa, jaman filosofi Yunani Kuno sampai jaman modern. Laki-laki dan perempuan tidak hanya dianggap sebagai makhluk yang berbeda, tapi juga sebagai seks yang berlawanan. Sebuah pertemuan antara dunia laki-laki dan perempuan adalah “pertempuran seks” (the battle of the sexes). Laki-laki dan perempuan dipolarisasikan dalam kebudayaan sebagai “berlawanan” dan “tidak sama”.

Kisah superioritas laki-laki atas perempuan bisa dimulai dari cerita penciptaan manusia dalam kitab suci Bibel, sebuah cerita yang sangat umum dikenal seperti ini: Adam diciptakan terlebih dulu dan Hawa diciptakan darinya. Jadi Adam adalah kreator dari Hawa, dan Hawa diciptakan untuk membantu Adam. Secara sosial dan secara moral, Adam lebih superior karena Hawa adalah penyebab kenapa mereka berdua dikeluarkan dari surga.

Phytagoras(1993), seperti dikisahkan oleh Aristoteles, membuat tabel pengklasifikasian hal-hal atau elemen-elemen yang berlawanan (oposisi biner). Dari tabel yang dibuat oleh Phytagoras ini terlihat bahwa laki-laki dan perempuan tidak hanya ditempatkan sebagai “berbeda” tapi juga “berlawanan”.

Dari tabel yang dibuat oleh Phytagoras tersebut menjadi jelas terlihat bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya diasosiasikan dari perbedaan-perbedaan fisik saja tapi juga bisa dihubungkan dari persoalan-persoalan lainnya. Misalnya, laki-laki diasosiasikan dengan segala sesuatu yang bermakna light, good, right, dan one. Semua metafora yang dikenakan pada laki-laki adalah yang berkenaan dengan makna Tuhan. Sementara perempuan misalnya, diidentifikasikan dengan sesuatu yang bad, left, oblong, dan darkness.

Seperti halnya Phytagoras, Aristoteles juga beranggapan bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya dari perempuan. Aristoteles mengatakan bahwa: secara natural, laki-laki itu superior, dan perempuan itu inferior. Yang superior mengatur yang inferior, dan yang inferior harus rela untuk diatur. Tabel yang berisi elemen-elemen yang saling berlawanan juga secara gamblang menjelaskan hal ini. Secara natural laki-laki dan perempuan adalah bermakna: superior dan inferior, pengatur dan yang diatur, jiwa dan tubuh, akal dan nafsu, manusia dan binatang, atau makhluk bebas dan budak. Perempuan adalah laki-laki yang impoten. Perempuan adalah makhluk yang terdingin dan terlemah di alam. Bahkan ia mengatakan bahwa contoh yang paling baik untuk melihat segala defisiensi (kekurangan) alam adalah dengan mengamati karakter perempuan.

Alam pemikiran modern tampaknya terus berpijak pada pemikiran-pemikiran sebelumnya sehingga gagasan-gagasan tentang laki-laki dan perempuan tidak jauh mengalami perubahan atau perbedaan. Bahkan JJ. Rousseau (1993), salah seorang pemikir revolusi Prancis memulai karyanya The Social Contract dengan kalimatnya yang terkenal seperti ini: “man is born free and everywhere he is in chains”. Argumennya adalah seperti ini, “A woman’s education must therefore be planned in relation to man. To be pleasing in his sight, to win his respect and love, to train him in childhood, to tend him in manhood, to counsel and console, to make his life pleasant and happy, these are the duties of woman for all time, and this is what she should be taught while she is young”.

Dalam bahasa Kate Millet (1993) telah terjadi “politik seks” (sexual politics) pada hubungan laki-laki dan perempuan. Ini adalah efek dari konsep awal Freud tentang perempuan yang menyatakan bahwa perempuan sebenarnya adalah laki-laki yang tidak punya penis (penis envy). Menurut Millet, Freud dengan teorinya itu telah meratifikasi anjuran-anjuran tradisional dan memvalidasi perbedaan temperamental antara laki-laki dan perempuan.

Simone de Beauvoir (1981) dalam The Second Sex banyak mencontohkan wujud patriarki ini dalam bermacam-macam kebudayaan di dunia. De Beauvoir menyatakan dalam budaya Arab misalnya, seorang anak perempuan yang baru lahir sebisa mungkin akan disingkirkan karena semua bayi perempuan dianggap tidak menguntungkan dibandingkan jika mempunyai anak laki-laki. Masih menurut De Beauvoir, di negara-negara Asia dan di banyak kultur lain, ketika seorang anak perempuan masih berusia remaja, seorang ayah memegang kendali penuh atas hidupnya sampai ketika ia menikah dan kontrol itu akan beralih ke tangan suaminya. Di Tunisia, masih jadi pemandangan sehari-hari disana dimana para istri bekerja keras menyiapkan makanan di dapur atau sibuk mengurus anak-anaknya sementara para suami, si laki-laki asyik bergerombol dengan teman-temannya, sesama laki-laki di warung-warung di pasar, membicarakan dan mendiskusikan persoalan dunia.

Masyarakat India, seperti yang diceritakan oleh Kamla Bhasin (1996), mengenal konsep Pativrata (kesetiaan ibu). Konsep itu menanamkan dalam setiap kepribadian perempuan suatu pemahaman sebagai berikut: “dengan apa perempuan menerima dan bahkan menginginkan kesucian dan kesetiaan ibu sebagai ekspresi tertinggi dari kepribadian mereka”. Dengan konsep itu, para perempuan di India mau menerima apapun perlakuan suami terhadap mereka karena yang penting bagi mereka adalah menjunjung tinggi pativrata. Dan karena konsep itu disosialisasikan sendiri oleh kaum perempuan maka status rendah perempuan dengan demikian dibuat tidak terlihat dan patriarki pun dengan kuat ditegakkan sebagai ideologi yang kelihatannya alamiah.

Patriarki dikonstruksikan, dilembagakan dan disosialisasikan lewat institusi-institusi yang terlibat sehari-hari dalam kehidupan seperti keluarga, sekolah, masyarakat, agama, tempat kerja sampai kebijakan negara. Sylvia Walby (1993) membuat sebuah teori yang menarik tentang patriarki. Menurutnya, patriarki itu bisa dibedakan menjadi dua: patriarki privat dan patriarki publik. Inti dari teorinya itu adalah telah terjadi ekspansi wujud patriarki, dari ruang-ruang pribadi dan privat seperti keluarga dan agama ke wilayah yang lebih luas yaitu negara. Ekspansi ini menyebabkan patriarki terus menerus berhasil mencengkeram dan mendominasi kehidupan laki-laki dan perempuan.

Dari teori yang dikembangkan Walby, kita bisa mengetahui bahwa patriarki privat bermuara pada wilayah rumah tangga. Wilayah rumah tangga ini dikatakan Walby sebagai daerah awal utama kekuasaan laki-laki atas perempuan. Sedangkan patriarki publik menempati wilayah-wilayah publik seperti lapangan pekerjaan dan negara. Ekspansi wujud patriarki ini merubah baik pemegang “struktur kekuasaan” dan kondisi di masing-masing wilayah (baik publik atau privat). Dalam wilayah privat misalnya, dalam rumah tangga, yang memegang kekuasaan berada di tangan individu (laki-laki), tapi di wilayah publik, yang memegang kunci kekuasaan berada di tangan kolektif (manajemen negara dan pabrik tentunya berada di tangan banyak orang).

Rumah adalah tempat dimana sosialisasi awal konstruksi patriarki itu terjadi. Para orang tua melakukan “gender” pertama-tama pada saat memberi nama kepada anak-anaknya. Anak laki-laki lazimnya diberi nama: Joko, Andi, Iwan, Budi, dan seterusnya. Sedangkan anak perempuan diberi nama: Sita, Wati, Ani, Yuli, Rina, dan lain sebagainya. Anak laki-laki belajar untuk menjadi “maskulin”, dan anak perempuan belajar untuk menjadi “feminin” dari hadiah-hadiah yang diberikan oleh ayah-ibu dan teman-teman dekat pada saat ulang tahun. Mobil-mobilan dan robot untuk anak-anak laki-laki, dan boneka serta bunga untuk anak perempuan. Hal ini berlanjut juga untuk persoalan perlakuan ayah-ibu terhadap anak-anaknya. Anak laki-laki diajari untuk bisa membetulkan genteng yang bocor atau perangkat listrik yang rusak, sementara anak perempuan belajar memasak dan menyulam. Para orang tua cemas dan gelisah jika anak-anak mereka tidak bertingkah laku sesuai dengan garis konstruksi sosial yang telah menetapkan bagaimana seharusnya anak laki-laki dan anak perempuan itu bertingkah laku.

Hal serupa juga terjadi di institusi sekolah. Buku-buku pelajaran SD, tanpa disadari bersifat patriarkis. Buku pelajaran bahasa Indonesia misalnya, sering mengambil contoh-contoh kalimat seperti: Wati Memasak di Dapur, Budi Bermain Layang-layang, dsb. Kalimat-kalimat kategoris bernada manipulatif, yang mengkotak-kotakkan fungsi laki-laki dan perempuan sesuai nilai-nilai kepantasan tertentu yang berlaku di masyarakat: pekerjaan apa yang lazim dikerjakan anak laki-laki, dan apa yang lazim dikerjakan oleh anak perempuan.

Kamla Bhasin kemudian menceritakan dalam budaya India, seorang kenalan laki-laki yang selalu menjadi sasaran ledekan karena ia mendapat latihan sebagai penari Kathak, suka menjahit dan merajut, yang semuanya adalah aktivitas feminin, tidak cocok untuk untuk laki-laki sejati.

Dalam beberapa hal sebetulnya laki-laki juga dirugikan oleh patriarki. Dalam berbagai sistem kebudayaan, seperti juga yang dialami perempuan, mereka didesak ke berbagai macam stereotipe, dipaksa menjalankan peranan tertentu, diharuskan bersikap menurut suatu cara tertentu, terlepas mereka suka atau tidak. Mereka juga diwajibkan untuk menjalankan tugas-tugas sosial dan lainnya yang mengharuskan mereka berfungsi dalam cara tertentu. Laki-laki yang sopan dan tidak agresif dilecehkan dan diledek sebagai banci; laki-laki yang memperlakukan istrinya secara sederajat dicap “takut istri”.

Wednesday 9 July 2008

BUDAYA SEBAGAI MEDAN PERTARUNGAN KUASA

Oleh Antariksa

Banyak karya cultural studies memahami komunikasi sebagai tindakan produksi makna, dan bagaimana sistem-sistem makna dinegosiasikan oleh pemakainya dalam kebudayaan. Kebudayaan bisa pula dimengerti sebagai totalitas tindakan komunikasi dan sistem-sistem makna. Posisi seseorang dalam kebudayaan akan ditentukan oleh 'kemelek-hurufan budaya' (cultural literacy), yaitu pengetahuan akan sistem-sistem makna dan kemampuannya untuk menegosiasikan sistem-sistem itu dalam berbagai konteks budaya.

Pandangan yang melihat komunikasi sebagai sebuah tindakan budaya, yang memerlukan berbagai bentuk kemelek-hurufan budaya, sangat dipengaruhi oleh pemikiran sosiolog Perancis Pierre Bourdieu. Ide-idenya sangat berguna karena ia mengatakan bahwa 'tindakan' (practice) atau apa yang secara aktual dilakukan seseorang, merupakan bentukan dari (dan sekaligus respon terhadap) aturan-aturan dan konvensi-konvensi budaya.

Salah satu cara memahami hubungan kebudayaan dengan tindakan adalah mengikuti pengandaian Bourdieu tentang perjalanan dan peta. Kebudayaan adalah peta sebuah tempat, sekaligus perjalanan menuju tempat itu. Peta adalah aturan dan konvensi, sedangkan perjalanan adalah tindakan aktual. Apa yang disebut dengan kemelek-hurufan budaya adalah "perasaan" untuk menegosiasikan aturan-aturan budaya itu, yang bertujuan untuk memilih jalan kita dalam kebudayaan. Tindakan adalah performance dari kemelek-hurufan budaya.

Kemelek-hurufan budaya misalnya dapat dilihat dalam sebuah film Jepang Tampopo, dalam adegan ketika sekolompok pebisnis Jepang makan bersama di sebuah restoran Perancis yang mahal. Perilaku kelompok dalam budaya bisnis Jepang dikenal bersifat sangat hirarkis. Dalam acara makan bersama macam ini, kebiasaan yang umum berlaku adalah seseorang yang dianggap superior dalam kelompok akan terlebih dulu memesan makanan, kemudian orang lain tinggal mengikutinya saja.

Kebiasaan itu jadi berubah ketika mereka harus "tampil" di sebuah restoran Perancis, yang tentu saja menuntut kemelek-hurufan dalam makanan dan anggur Perancis. Seseorang yang dianggap pemimpin dalam kelompok ini ternyata buta huruf dalam wilayah ini: ia tak mengenal dan tak bisa membayangkan makanan yang terdaftar di menu. Ia juga tak tahu bagaimana menyesuaikan jenis anggur dengan jenis makanan yang dipilih. Akhirnya ia memesan makanan dan anggur sekenanya. Semua anggota kelompok ini, kecuali satu orang saja, sama-sama buta hurufnya dan memilih hidangan dengan mengikuti pilihan pemimpinnya.

Pesanan terakhir dari seorang pebisnis muda, sangat berbeda dengan pesanan lainnya. Pesanannya menunjukkan bahwa ia sangat melek huruf dalam makanan dan anggur Perancis. Ia tampak tenang mengahadapi menu, membaca dan menganalisisnya, dan menunjukkan betapa ia sangat tahu akan semua yang dilakukannya. Ia berbicara sebentar dengan pelayan, mengajukan beberapa pertanyaan "bermutu", dan akhirnya menjatuhkan pilihan yang sangat "berselera". Semua koleganya sangat terkesan dan ini membuka peluang yang lebih baik buat si pebisnis muda itu meningkatkan posisinya dalam dunia bisnis.

Lantas bagaimana kemelek-hurufan budaya diterjemahkan ke dalam tindakan seseorang? Untuk menjelaskannya, kita memerlukan 3 konsep lagi dari Bourdieu: 'medan budaya' (cultural field), habitus, dan 'modal budaya' (cultural capital).

Bourdieu mendefinisikan medan budaya sebagai institusi, nilai, kategori, perjanjian, dan penamaan yang menyusun sebuah hierarki objektif, yang kemudian memproduksi dan memberi "wewenang" pada berbagai bentuk wacana dan aktivitas; dan konflik antarkelompok atau antarindividu yang muncul ketika mereka bertarung untuk menentukan apa yang dianggap sebagai "modal" dan bagaimana ia harus didistribusikan. Yang disebut modal oleh Bourdieu meliputi benda-benda material (yang bisa mempunyai nilai simbolis), prestise, status, otoritas, juga selera dan pola konsumsi.

Kekuasaan yang dimiliki seseorang dalam sebuah 'medan' (field), ditentukan oleh posisinya dalam medan itu, yang pada gilirannya akan menentukan besarnya kepemilikan modal. Kekuasaan itu digunakan untuk menentukan hal-hal macam mana yang bisa disebut modal (keaslian modal).

Modal selalu tergantung dan terikat pada medan tertentu, ia bersifat partikular. Dalam medan gaya hidup remaja Indonesia sekarang misalnya, pengenalan akan film dan musik Amerika, kemampuan berbahasa gaul, atau berdandan dengan gaya tertentu, bisa disebut sebagai modal. Bagaimanapun, kemampuan-kemampuan ini, bukanlah modal, misalnya saja, dalam medan pelayanan diplomatik.

Pemahaman seseorang akan modal berlangsung secara tak sadar, karena menurut Bourdieu dengan cara begitulah ia akan berfungsi efektif. Seperangkat pengetahuan, aturan, hukum, dan kategori makna yang ditanamkan secara tak sadar ini oleh Bourdieu disebut habitus. Habitus bersifat abstrak dan hanya muncul berkaitan dengan putusan tindakan: ketika seseorang dihadapkan pada masalah, pilihan atau konteks. Dengan begitu habitus bisa juga dimengerti sebagai "feel of the game".

Monday 30 June 2008

Asal Mula Orang Buton

Kebesaran suatu kaum dapat di ukur dari kontribusi yang di sumbangkan oleh kaum tersebut terhadap peradaban. Apa yang telah disumbangkan oleh Orang Buton sebagai suatu kaum terhadap peradaban?

Kebudayan Buton adalah kebudayaan yang tertua dan terkaya di Jazirah Tenggata Pulau Sulawesi. Kekayaan dan keontentikan kebudayaan ini masih dapat di lihat dari banyaknya peninggalan budaya dari masa lampau yang masih utuh dan tetap terpelihara baik dalam bentuk bangunan, adat istiadat dalam perilaku masyarakat maupun dalam bentuk karya seni.

Sebagai suatu masyarakat Buton mulai tercatat dalam dalam literatur sejak abad-13. Dalam buku Negarakertagama tulisan Mpu Prapanca tahun 1365 terungkap nama Butun-Banggawi sebagai suatu tempat yang termasuk dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada masa itu kiranya di kawasan ini telah berdiri suatu masyarakat kerajaan dengan susunan sosial politik yang relatif teratur. Selain nama Buton tidak terlepas pula nama Wolio untuk menyebut masyarakat kerajaan ini.

Dalam Hikayat Sipanjonga disebutkan bahwa pendiri Kerajaan Buton adalah Mia Patamiana yang secara harfiah dapat diartikan sebagai "orang yang empat". keampat orang ini yang terdiri dari Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo dan Sijawangkati berasal dari Johor Semenanjung Malaya. Mereka mendarat di daratan Buton dalam dua rombongan. rombongan Sipanjongan dan Simalui mendarat di Kalampa sedangkan rombongan Sitamanajo dan Sijawangkati mendarat di Walalogusi. mereka kemudian membangun pemukiman di tepi pantai tempat mereka mendarat. Selanjutnya mereka kemudian bergabung membangun pemukiman baru. Dalam membangun pemukiman baru tersebut mereka membuka hutan dan menebangi kayu yang dalam bahasa setempat di sebut Welia. Dari kata Welia inilah konon muncul nama Wolio.

Dalam kisah lain disebutkan adanya kelompok masyarakat yang hidup di daerah pedalaman Pulau Buton. Mereka dipimpin oleh Dungkucangia yang dikisahkan sebagai seorang Komandan tentara Kubilai Khan yang diperintahkan untuk menghancurkan Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosasi. Dalam sejarah tercatat bahwa misi yang dijalankan oleh pasukan tentara Kubilai Khan tersebut kemudian digagalkan, dihancurkan dan cerai beraikan oleh Raden Wijaya yang selanjutnya mendirikan Kerajaan Majapahit. Dungkucangia ini dikisahkan sebagai bagian dari Tentara Kubilai Khan yang tercerai berai tadi yang tidak kembali lagi kenegerinya yang kemudian mendarat di Pulau Buton dan memimpin Kerajaan Tobe-Tobe. Oleh karena suatu perbedaaan kepentingan Sijawangkati dan Dungkucangia terlibat dan perselisihan yang harus diselesaikan melalui adu kesaktian dalam suatu pertarungan. tidak ada yang menang dan kalah dalam pertarungan tersebut sehingga mereka kemudian bersepakat untuk membangun kehidupan dalam suatu ikatan persaudaraan. Sebagai wujud ikatan persaudaraan tersebut Dungkucangia kemudian memasukkan Kerajaan Tobe-Tobe yang dipimpinnya dalam wilayah Kerajaan Buton.

Adapun kisah terjadinya Buton dalam versi Islam adalah ketika seorang musafir arab di perintahkan oleh Rasulullah SAW untuk berlayar ke timur menuju ke sebuah pulau yang sudah lama merindukan kedatangan Islam. Setibanya di Bulau tersebut, Musafir menaruh jubahnya di suatu tempat sehingga jubah tersebut menjadi perhatian penduduk setempat. mereke ingin mengetahui siapa pemilik jubah tersebut. Sementara itu bertengger 7 ekor burung di pohon dekat jubah, sambil menyuarakan bergantian " butuni-butuni-butuni" maka bersujudlah orang-orang di sana begitu melihat ternyata musafir tersebut adalah seorang Waliyyullah. dari kata Waliyullah tersebutlah kemudian di sebut Wolio.




Thursday 12 June 2008

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MEMECAHKAN MASALAH UTANG LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI

I. LATAR BELAKANG

Bagi bangsa Indonesia pernyataan kemerdekaan 1945 adalah suatu ''Manifesto Politik''. Dari situ kita bertekad ''berdaulat di dalam kehidupan politik, berdikari di dalam kehidupan ekonomi dan berkepribadian di dalam kehidupan budaya''. Namun, dalam perjalanan sejarah nasional kita, tekad politik itu sering mengendor atau bahkan dikorbankan.

Indonesia, seperti negara-negara berkembang non-komunis pada umumnya, belum terlepas dari jebakan sejarah masa lampaunya. Mereka masih menyandang ciri-ciri sebagai berikut: (1) Masa lalunya berada dalam kekuasaan kolonialisme dan feodalisme. (2) Setelah mencapai kemerdekaan politis, negara-negara ini kembali berada dalam kekuasaan kolonialisme dan feodalisme dalam bentuk barunya yaitu neocolonialism dan neofeodalism. (Sri Edy Swasono & Sritua Arief; 1999)

Kedua bentuk kolonialisme dan feodalisme baru ini merevitalisasi basic-instinct yang dikandungnya masing-masing, yaitu secara permanen menyimpan niat eksploitatif dengan cara lebih halus dan canggih. Basic-instinct itu harus kita waspadai dengan baik. Demikian pula terhadap Indonesi. Salah satu bentuk basic instinct itu dimanifestasikan dengan pemberian bantuan berupa pemberian utang pinjaman yang syarat-syaratnya akan mengekang kemedekaan Indonesia sebagai Negara berdaulat.

Utang luar negeri dirasakan mulai menjerat Indonesia tatkala badai krisis moneter mulai melanda kawasan Asia Tenggara diawal tahun 1997 dimana nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika menurun drastis dari Rp. 2.500/Dollar merosot menjadi Rp.16.000/ Dollar ditahun 1998. kondisi ini menbuat utang Luar negeri Indonesia yang umumnya dalam bentuk dollar meroket berkali-kali lipat dari produksi barang Indonesia dinilai dengan Rupiah. Dalam kondisi lemah inilah masuk Internasional Monetery Fund (IMF) yang menawarkan asistensi dalam bentuk Letter of Intensi (Loi) yang isinya oleh berbagai kalangan dinilai tidak menyembuhkan luka ekonomi Indonesia tetapi malah lebih menjerumuskan Indonesia kedalam jurang kemelaratan dankemali kealam penjajahan karena kemerdekaan Indonesia sebagai negara berdaulat banyak dipasung oleh pasal-pasal dalam Loi tersebut

Sedang utang dalam negeri dirasakan mulai menjerat Indonesia sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Pada saat itu pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menyelamatkan perbankan nasional. Salah satu kebijakan tersebut adalah memberikan jaminan keamanan dana nasabah bank nasional karena di Indonesia belum ada peraturan penjaminan dana nasabah di bank. Jadi kalau banknya bangkrut maka pemerintah yang harus menggantinya. Mekanismenya adalah dengan mengeluarkan Bantuan Liquiditas Bank Indonesia (BLBI) sekitar Rp.600 Triliun kepada bank-bank dalam negeri yang hampir bankrut dan melepaskan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk menjamin kelangsungan hidup bank-bank tersebut yang bunganya pernah mencapai 17%.

Disamping itu untuk membiaya kegiatan-kegiatannya pemerintah juga mengeluarkan obligasi Negara (T. bond) dalam mata uang rupiah dan valas. Sebagai contah pada Februari 2004 lalu, pemerintah telah menerbitkan obligasi negara senilai Rp 2,5 triliun. Berikutnya pada, 16 Maret 2004, pemerintah akan menerbitkan kembali obligasi negara dengan target indikatif sebesar Rp 2 triliun. Pemerintah menargetkan penerbitan obligasi negara ini setiap bulan.(http://www.republika.co.id/; 2004 ) dengan kebijakan demikian maka utang dalam negeri pemerintah setiap bulannya akan terus bertambah.

Kebijakan pemerintah mengenai penerbitan obligasi Negara (T. Bond) ini dikeluarkan melalui UU No. 24/2002 tentang Surat Utang Negara. Dibentuknya Undang-undang ini adalah untuk memberikan kepastian sekaligus landasan hukum, bagi pemodal dan/atau masyarakat serta guna mewujudkan transparansi, profesionalitas dan tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan manajemen surat utang negara yang mana pelaksanaannya adalah dalam rangka mengurangi beban dan risiko keuangan bagi negara dimasa mendatang seperti yang dialami dari pengalaman melakukan pinjaman luar negeri yang dirasakan akhirnya merongrong kemerdekaan Indinesia sebagai negara berdaulat.

Dengan melihat bahwa kebijakan pemerintah dalam mengatasi persoalan penyelesaian utang Pemerintah baik itu utang luar negeri maupun utang dalam negeri adalah kebijakan yang sedang dijalankan oleh pemerintah saat ini maka fungsi analisa yang dijalankan adalah Policy Action. Adapun fungsi-fungsi dalam policy action meliputi : Actuating, Coordinating, motivating, Budgeting, Human relation, dan Decition making.

Untuk mendapatkan informasi dalam tulisan, kami menggunakan 3 (tiga) pendekatan yaitu empiris, evaluatif dan normatif. Empiris adalah menjelaskan sebab akibat dari kebijaksanaan publik ; evaluatif adalah berkenaan dengan penentuan nilai dari beberapa kebijaksanaan ; dan normatif adalah pengusulan arah dan tindakan yang akan memecahkan problem-problem kebijaksanaan. (William N. Dunn, 47 : 1998). Selain pendekatan yang digunakan dalam, kami juga mencoba menggunakan prosedur-prosedur dalam analisa kebijakan yang dimulai dari pemantauan, evaluasi, perumusan masalah, peramalan dan rekomendasi, sehingga memungkinkan kita dapat menghasilkan informasi mengenai kemungkinan bahwa arah tindakan dimasa yang akan datang menimbulkan akibat-akibat yang bernilai.

II. LINGKUP DAN RAGAM MASALAH

Karena luasnya permasalahan dalam analisis kebijakan yang harus dikaji dan keterbatasan waktu, maka dalam tulisan ini kami tidak akan menganalisis kebijakan pemerintah dalam mengatasi utang luar negeri dan dalam negeri secara keseluruhan, tetapi hanya mengkaji kebijakan penerbitan Obligasi Negara sebagai upaya mengurangi ketergantungan pembiayaan defisit negara dari pinjaman luar negeri dan bagaimana menghindari jerat utang dalam negeri dari bunga obligasi negara yang sangat tinggi.

III. PERNYATAAN MASALAH

A. Utang luar negeri

Banyak yang tak menyadari bahwa konsepsi utang luar negeri yang dianut pemerintah sangat dipengaruhi pandangan para ekonom neoliberal. Sesuai pandangan umum yang dianut para pengikut Reagan dan Thatcher tersebut, pembuatan utang luar negeri pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dua hal: pertama, menutupi kesenjangan antara jumlah tabungan dan kebutuhan investasi. Kedua, untuk memanfaatkan suku bunga murah yang ditawarkan sindikat lembaga-lembaga keuangan multilateral yang menyalurkan utang tersebut.

Berdasarkan kedua tujuan itu, jelas kelihatan betapa konsepsi utang luar negeri para ekonom neoliberal sangat dipengaruhi paradigma pembangunan mereka yang sangat memuliakan pertumbuhan. Dalam pandangan para ekonom neoliberal, pembangunan memang identik dengan pertumbuhan. Kecenderungan ini sejalan dengan pandangan mereka yang meletakkan pertumbuhan di atas pemerataan. Sebagaimana sering mereka kemukakan, "Jika tidak ada pertumbuhan, apa yang mau diratakan?"

Dengan paradigma pembangunan seperti itu, para ekonom neoliberal dengan sadar menempatkan investasi dan investor di atas segala-galanya. Dalam ungkapan sederhana, paradigma pembangunan ekonomi neoliberal pada dasarnya bertumpu pada prinsip "investor first, people second". Prinsip inilah yang sering mereka kemukakan melalui ungkapan "bersahabat dengan pasar".

Mudah dimengerti jika para ekonom neoliberal cenderung menghindari segala tindakan yang dalam pandangan mereka dapat merusak kepercayaan pasar. Tuntutan pemotongan utang, misalnya, dengan sendirinya bertentangan dengan garis pemikiran mereka.

Mengikuti pandangan ini untuk menjaga “Kepercayaan pasar “ maka dalam mengatasi persoalan utang luar negeri maka pemerintah Indonesia tidak seperti Negara-negara Amerika Latin yang meminta pemotongan utang luar negeri mereka. Pemerintah Indonesia, hanya dapat meminta kepada kreditor asing agar dapat dilakukan penjadwalan kembali pembayaran utang luar negeri Indonesia baik bunga maupun utang pokoknya. Utang luar negeri Indonesia sudah sedemikian besar jumlahnya yang tidak diimbangi oleh kemampuan membayar bunga dan cicilannya. Pengalaman menunjukkan bahwa krisis utang luar negeri di banyak negara pengutang dunia terjadi sebagai akibat besarnya akumulasi utang luar negeri yang tidak mampu terlunasi sesuai dengan jadwal yang telah disepakati.

Menurut Dornbusch (1993), krisis utang menunjukkan adanya ketidakmampuan debitur untuk melakukan pembayaran bunga dan pokok utang sesuai jadwal. Ada 5 faktor yang mengawali kondisi krisis tersebut yakni:

  1. Tidak adanya upaya menjadwalkan ulang utang dan meningkatnya tingkat bunga riil akan semakin meningkatkan kebutuhan dana, yang mana ketidakseimbangan antara kebutuhan dana segar dan suplai kredit akan menimbulkan kesenjangan;
  2. Terganggunya Non Interest Current Account karena mem-buruknya perekonomian secara makro;
  3. Naiknya inflasi dunia mendorong peningkatan suku bunga nominal;
  4. Pada kondisi tingkat bunga dan Non Interest Current Account yang tetap, kreditor akan memutuskan bahwa jumlah utang sudah sangat besar sehingga mulai membatasi tambahan utang baru;
  5. Aktivitas industri di negara-negara maju mempengaruhi permintaan ekspor di negara berkembang, resesi menyebabkan turunnya permintaan dan harga komoditi sehingga mempengaruhi kemam-puan debt service negara debitor.
Dengan tingkat utang LN pemerintah Indonesia yang sudah pada tingkat yang sulit dikelola. Lalu apakah strategi penjadwalan ulang cukup memadai untuk mengatasinya? Jelas tidak. Penjadwalan ulang hanya memindahkan persoalan ke waktu yang lebih lama. Tapi bebannya tetap saja sama. Sebagai misal, Jepang setuju menjadwal ulang utang senilai US$­­ 2.8 milyar, hingga setidaknya tahun 2016. Padahal, selama 2016-2018 terdapat beban utang dalam negeri sekitar Rp 140 triliun/tahun. Jelas ini membuat beban hutang APBN tahun tersebut akan membengkak. Oleh sebab itu, selain penjadwalan ulang, diperlukan strategi lain yang lebih radikal agar manajemen utang LN pemerintah bisa lebih optimal.

B. Obligasi Negara

PEMERINTAH saat ini sibuk mencari talangan untuk dana APBN (Anggaraan Pendapatan dan Belanja Negara) yang diperkirakan masih kurang (deficit). Hal ini adalah salah satu akibat dan buah dari kesepakatan kita menolak jeratan yang mencekik leher dari IMF. Dan talangan itu berupa penerbitan obligasi negara (government bond) atau surat utang negara dalam mata uang asing. Dana yang diharapkan dalam penerbitan obligasi itu bernilai 500 juta dolar AS. Kontroversi terjadi. Ada yang mempertanyakan, apa bedanya berutang ke IMF dengan penerbitan obligasi? Alasannya, keduanya masih merupakan utang juga. Masih ada bunga yang akan memperberat neraca pembayaran. Bukankah tindakan menerbitkan obligasi seperti gali lobang tutup lobang?

Namun ada juga yang mendukung tindakan pemerintah, karena obligasi dijual kepada masyarakat dan dicatatkan di sebuah bursa efek. Hal ini menunjukkan, tidak ada unsur tekanan yang bersifat politis, sebagaimana yang kita rasakan pada saat meminjam kepada IMF, Bank Dunia maupun negara-negara ‘sahabat’. Yang akan ada, sebagaimana sifat investor sejati, tuntutan agar pengembalian dana obligasi maupun kupon bunganya tepat waktu. Sejalan dengan itu, investor akan menuntut ketransparanan dari penerbit obligasi. Tanpa ketransparanan, investor enggan menyentuh obligasi itu. Dan hal ini terlihat dari rating obligasinya. Jika ratingnya rendah, maka obligasi itu tak laku dijual. Biarlah kontroversi terjadi. Biarlah orang mengemukakan pendapatnya dalam era reformasi ini. Bukankah reambut sama hitam, tapi isi kepala berbeda? Dan bukankah dengan banyak kepala yang ikut memikirkan, diharapkan bakal menghasilkan keputusan yang lebih baik? Jika selintas dilihat, tentu obligasi negara seperti gali lobang tutup lobang. Tapi benarkah begitu? Tentu tidak semuanya bener. Obligasi tidak akan mengikat negara terhadap pembeli obligasi. Pemerintah bisa melakukan rencananya yang sudah dianggarkan dengan bebas. Jika kita berutang ke IMF atau sebuah negara, maka apa yang pemerintah anggarkan, haruslah berasal dari mereka. Kita lihat saja, saat pinjam uang ke Jepang, maka semua pembelanjaan dana pinjaman itu terkait dengan Jepang. Konsultannya, kontraktornya, pemasoknya dan sebagainya, harus dari Jepang. Biasanya tarif mereka jauh lebih tinggi dibanding tarif pasar. Artinya, kucuran itu kembali lagi ke mereka. Sedangkan yang kita dapatkan, adalah utang. Semakin lama beban semakin berat, karena ada bunganya.

Namun pada obligasi, begitu terbit dan dibayar investor, dana mengalir ke pemerintah. Pemerintah bisa secara bebas tunjuk konsultan, kontraktor, pemasok maupun apa saja yang terkait pembelanjaan yang dianggarkan. Tentu, penerbitan obligasi negara merupakan jalan keluar yang baik dari jeratan utang seperti kepada IMF. Namun, penerbitan obligasi itu tetap akan menjadi gali lobang tutup lobang, jika bangsa ini tetap korup. Biar pun pemerintah bisa bebas menentukan pembelanjaannya, jika seluruh aparat bermental korup, maka hasilnya adalah beban utang yang berat.

Disamping itu yang harus diperhatikan bahwa dengan bunga SBI dan obligasi Negara yang sangat tinggi akan membuat bank-bank nasional menjadi malas untuk melakukan deversifikasi usaha sebab dengan selisih yang besar antara bunga bank dan bungan SBI/ obligasi Negara untuk mendapatkan laba bank cukup berusaha untuk menarik dana penabung sebanyak-banyaknya selanjutnya dibelikan obligasi Negara. Selain itu bahwa Penerbitan obligasi Pemerintah ini akan menambah beban utang pemerintah. Karena misalnya penerbitan obligasi internasional dalam bentuk mata uang dollar Amerika, maka beban utang luar negeri pemerintah akan membengkak. Hingga Februari 2003 jumlah utang luar negeri pemerintah Indonesia mencapai US $ 74,2 milyar – sekitar Rp 630,7 trilyun. Sementara itu nilai nominal (nominal amount) obligasi dalam negeri pemerintah yang sudah diterbitkan untuk program restrukturisasi perbankan (BLBI dan program rekapitalisasi perbankan) mencapai Rp 645,78 trilyun. Jadi total utang pokok pemerintah adalah Rp 1.276, 48 trilyun.

IV. ALTERNATIF KEBIJAKAN

  • Untuk mengatasi ketergantungan terhadap utang luar negeri pemerintah harus mencari alternatif lain dalam APBN dengan memanfaatkan potensi yang ada di dalam negeri.
  • Untuk mengatasi utang dalam negeri pemerintah dari bunga obligasi Negara yang sangat tinggi sebaiknya agar pemerintah membuat kebijakan yang menyeluruh untuk menurunkan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), menggerakkan sektor riil, dan menciptakan lapangan kerja.
  • Birokrasi pemerintah Indonesia sudah sangat besar sehingga menjadi sangat boros dam merongrong pembiayaan negara sehingga sudah waktunya untuk dilakukannya pemangkasan birokrasi dengan dengan kebijakan membuat pertumbuhan birokrasi menjadi zero growth.
  • Memberatas korupsi melalui upaya penegakkan hukum, karena ternyata penyebab terbesar terjadeinya pemborosan dalam anggaran Negara adalah karena tingkat korupsi yang sangat tinggi. berdasrkan Survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2002, Indonesia tercatat sebagai Negara terkorup di Asia.. Sementara indeks korupsi dari Transparancy Internasional (TI) menempatkan Indonesia diposisi ke 7 terkorup dari 102 negara.
V. REKOMENDASI KEBIJAKAN

  • Agar pemerintah sedapat mungkin mengurangi ketergantungan APBN dari pinjaman luar negeri.
  • Agar Pemerintah segera Menurunkan bunga sertifikat Bank Indonesia danv mendorong bank-bank nasional agar lebih intensif mengucur kredit sehingga sektor riil dapat bergerak yang pada giliran akan menciptakan lapangan kerja dan memperbaiki perekonomian nasinal secara keseluruhan.
  • Agar Pemerintah lebih mengefisienkan birokrasai Pemerintah dengan jalan Merestrukturisasi birokrasi pemerintah yang sudah sangat gemuk sehingga dirasa telah memberatkan anggran pemerintah.




DAFTAR PUSTAKA]
Djohermansya, Djohan,1997, Fenomena Pemerintahan, PT. Yasir Watampone, Jakarta
Dunn William N. terj. Muhajir Darwin,1998, Analisa Kebijakan Publik, PT. Hanindita Graha Widya, Yogyakarta
Rahardjo, Dawam, 2001, Independensi Bank Indonesia dalam Kemelut Politik, PT.Pustaka Cidesindo, Jakarta
Steiner, George A., 1997, Kebijakan dan Strategi Maanajemen, Penerbit Erlangga, Jakarta
Swasono, Sri Edi, 1997, Pembangunan Tanpa Utang: Utang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia, Republika, Jakarta
Wibowo, Drajat, 2004, Optimalisasi Manajemen Itang Pemerintah, INDEF, Jakarta
http://www.republika/. Or.id
WWW.INDOREGULATION.COM
D O K U M E N
1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Ke-empat
2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara
3) Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2003 Tentang Pengendalian Julah Kumulatif Devisit APBN Dan APBD serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemda.

STRATEGI DAN UPAYA MENJAGA KEUTUHAN BANGSA

I. Latar Belakang

Mencermati pidato Presiden RI dalam rangka memperingati HUT Proklamasi RI Ke-58 tentang keadaan bangsa dewasa ini yang seakan-akan seluruh warga dihimbau untuk kembali mempertanyakan jatidiri kita sebagai bangsa Indondesia serta arah kemana tujuan bangsa kita dimasa depan. Dalam usianya yang saat ini telah mencapai hampi 59 tahun, dengan penuh keprihatinan kita mengahadapi kenyataan bahwa berbagai kesepakatan bangsa yang dicetuskan oleh “founding fathers” dengan melahirkan Indonesia sebagai satu bangsa dan satu Negara, sedang menghadapi berbagai tantangan berat yang harus mampu kita kelola dengan baik agar agar jiwa kebangsaan dan NKRI tidak lenyap. Kenyataan empiric telah memperlihatkan bahwa berbagai gejolak yang terjadi di daerah apabila tidak di tangani secara cerdas akhirnya akan bermuara pada satu titik yaitu pemisahan diri dari NKRI. Contoh kasus telah terjadi dengan pemisahan diri Timor-Timur dengan Fretelin-nya yang perilakunya kemudian coba dikuti oleh Papua dengan OPM-nya, Maluku dengan RMS-nya dan Aceh dengan GAM-nya. Tantangan ini apabila tidak ditangani dengan tegas dan cerdas bukan tidak mungkin akan menjalar keberbagai daerah lain di Indonesia. Untuk dapat menjawab tantangan tersebut dan dapat memberi penanganan yang tepat dan komprehensif, tentunya dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman yang tepat dan komprehansif pula tentang akar dari semua permasalahan yang terjadi sehingga mengapa kemudian daerah-daerah bergejolak tersebut terdorong melakukan gerkan kearah des-integrasi bangsa.
Integrasi bangsa adalah landasan bagi tegaknya sebuah negara modern. Keutuhan wilayah negara amat ditentukan oleh kemampuan para pemimpin dan masyarakat warga negara untuk memelihara komitmen kebersamaan sebagai suatu bangsa. Karena itu, secara teoretik dipahami bahwa ancaman paling serius terhadap integrasi bangsa adalah disharmoni sosial, sedangkan ancaman paling nyata terhadap eksistensi wilayah negara adalah gerakan separatisme. Kedua ancaman itu sering kali bercampur baur. Karena, disharmoni sosial yang sudah meluas menjadi konflik yang mengambil bentuk kekerasan akan serta merta menarik garis-garis demarkasi teritorial.
Penampakan garis-garis itu akan cepat menjadi jelas bila pihak-pihak yang terlibat konflik merupakan representasi dari komunitas-komunitas besar yang mendominasi wilayah-wilayah tertentu. Bila ini terjadi, maka proses disintegrasi wilayah yang dimulai oleh disintegrasi sosial akan secara simultan membawa bangsa itu ke jurang disintegrasi nasional.
Tesis ini adalah sebuah penyederhanaan. Dalam kenyataan, meski tesis ini selalu hadir, sebuah skenario disintegrasi bangsa selalu berlangsung melalui interaksi berbagai faktor yang lebih kompleks. Proses itu dimulai dengan lahirnya berbagai faktor penyebab dari terjadinya disharmoni sosial, bagaimana suasana disharmoni itu bergerak ke arah konflik kekerasan, faktor apa yang menghambat upaya peredaan konflik, dan faktor apa yang mempercepat proses disintegrasi itu.
Dalam konteks ini perlu dipahami, bangsa dan negara hanyalah sebuah konsensus. Bila konsensus tidak lagi diakui, maka eksistensi bangsa dengan sendirinya hilang, dan bersamaan dengan itu negara pun akan rontok. Manusia dan masyarakat yang sebelumnya pernah sepakat menjadi satu bangsa mungkin masih tetap eksis, tetapi mereka tidak lagi terikat dalam ikatan kebangsaan yang sama. Demikian pula halnya dengan territori negara yang secara fisik tetap ada, namun garis-garis demarkasi yang sebelumnya pernah diakui bersama sudah berubah.
Dari berbagai fenomena diatas maka, memang perlu ada perbaikan-perbaikan yang dilakukan dalam kebijakan pemerintah untuk mengatasi masalah di-integrasi bangsa ini. Kebijakan yang diambil seharusnya memperhatikan akar dari masalah dis-integrasi bangasa ini dan jangan hanya melihat akibat dari akar masalah tersebut.
Arti Analisis Kebijakan itu sendiri menurut E.S Quade dalam William N. Dunn (2000; 95) adalah :
Suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberilandasan bagi para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan keputusan..... Dalam analisis kebijakan kata analisis digunakan dalam pengertian paling umum; termasuk penggunaan intuisi dan pengungkapan pendapat dan mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dengan memilah-milahkannya kedalam sejumlah komponen tetapi juga perancangan dan sintesis alternartif-alternatif baru. Kegiatan-kegiatan yang tercakup dapat direntangkan mulai dari penelitian untuk menjelaskan atau memberikan pandangan-pandangan terhadap isu-isu atau masalah-masalah yang terantisipasi sampai mengevaluasi suatu program yang lengkap.
Dengan melihat bahwa kebijakan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah dalam mengatasi persoalan di-ntegrasi bangsa saat ini, maka fungsi analisa yang dijalankan adalah Policy Action. Adapun fungsi-fungsi dalam policy action meliputi : Actuating, Coordinating, motivating, Budgeting, Human relation, dan Decition making.
Untuk mendapatkan informasi dalam tulisan, kami menggunakan 3 (tiga) pendekatan yaitu empiris, evaluatif dan normatif. Empiris adalah menjelaskan sebab akibat dari kebijaksanaan publik ; evaluatif adalah berkenaan dengan penentuan nilai dari beberapa kebijaksanaan ; dan normatif adalah pengusulan arah dan tindakan yang akan memecahkan problem-problem kebijaksanaan. (William N. Dunn, 47 : 1998). Selain pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini, kami juga mencoba menggunakan prosedur-prosedur dalam analisa kebijakan yang dimulai dari pemantauan, evaluasi, perumusan masalah, peramalan dan rekomendasi, sehingga memungkinkan kita dapat menghasilkan informasi mengenai kemungkinan bahwa arah tindakan dimasa yang akan diambil yang datang menimbulkan akibat-akibat yang bernilai.


II. Lingkup Dan Ragam Masalah


Karena luasnya permasalahan dalam analisis kebijakan yang harus dikaji dan keterbatasan waktu, maka dalam tulisan ini kami tidak akan menganalisis semua kebijakan pemerintah dalam mempertahankan integritas teritorial Indonesia tapi hanya pembatasi diri pada permasalahan yang menurut kami patut untuk mendapatkan renungan. Dari kajian kami terhadap berbagai kasus disintegrasi bangsa dan bubarnya sebuah negara, dapat ditemukan lima faktor utama yang secara gradual bisa menjadi penyebab utama proses itu.
· Krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama
· Krisis politik berupa perpecahan elite di tingkat nasional
· Krisis sosial yang dimulai dari terjadinya disharmoni dan bermuara pada meletusnya konflik kekerasan di antara kelompok-kelompok masyarakat
· Intervensi internasional yang bertujuan memecah-belah
· Demoralisasi aparat negara dalam bentuk pupusnya keyakinan mereka atas makna pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai peerejkat persatuan dan kesatuan bangsa.

III. Pernyataan Masalah

Pertama, krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama. Krisis di sektor ini selalu merupakan faktor amat signifikan dalam mengawali lahirnya krisis yang lain (politik-pemerintahan, hukum, dan sosial). Secara garis besar, krisis ekonomi ditandai merosotnya daya beli masyarakat akibat inflasi dan terpuruknya nilai tukar, turunnya kemampuan produksi akibat naiknya biaya modal, dan terhambatnya kegiatan perdagangan dan jasa akibat rendahnya daya saing. Muara dari semua ini adalah tutupnya berbagai sektor usaha dan membesarnya jumlah penganggur dalam masyarakat.
Dalam keadaan seperti ini, harapan satu-satunya adalah investasi melalui proyek-proyek pemerintah, misalnya, untuk pembangunan infrastruktur transportasi secara besar-besaran sebagai upaya menampung tenaga kerja dan memutar roda ekonomi. Namun, ini memerlukan syarat adanya kepemimpinan nasional yang kreatif dan terpercaya karena integritasnya, tersedianya cadangan dana pemerintah yang cukup, serta bantuan teknis melalui komitmen internasional. Tanpa terobosan investasi baru, krisis ekonomi akan berlanjut. Biasanya, krisis ekonomi yang berkepanjangan dan tak teratasi akan menciptakan ketegangan-ketegangan baru dalam hubungan antar-elite. Mereka akan berlomba untuk saling menyalahkan dan mencari kambing hitam. Pada saat yang sama, krisis ekonomi akan memperlemah kemampuan negara untuk menutupi berbagai ongkos pengelolaan kekuasaan dan pemeliharaan berbagai fasilitas umum.
Akibatnya, akan terbentuk rasa tidak puas yang luas, baik dari mereka yang menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri (pegawai negeri dan tentara/ polisi) maupun warga masyarakat. Bila situasi ini tidak berhasil diatasi oleh mekanisme sistem politik yang berlaku, maka krisis politik akan sulit dihindari.
Kedua, krisis politik berupa perpecahan elite di tingkat nasional, sehingga menyulitkan lahirnya kebijakan yang utuh dalam mengatasi krisis ekonomi. Krisis politik juga bisa dilihat dari absennya kepemimpinan politik yang mampu membangun solidaritas sosial untuk secara solid menghadapi krisis ekonomi. Dalam situasi di mana perpecahan elite pusat makin meluas dan kepemimpinan nasional makin tidak efektif, maka kemampuan pemerintah dalam memberi pelayanan publik akan makin merosot. Akibatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah akan semakin menipis.
Keadaan ini biasa menjadi pemicu lahirnya gerakan-gerakan massal anti-pemerintah yang terorganisasi. Bila gerakan-gerakan itu menguat dan pada saat sama lahir gerakan massa tandingan yang bersifat kontra terhadap satu sama lain-apalagi jika terjadi bentrokan fisik yang intensif di antara mereka, atau antara massa dengan aparat keamanan negara-maka perpecahan di antara top elite di pusat kekuasaan makin tak terhindarkan. Jurang komunikasi akan makin lebar. Dalam situasi di mana kebencian dan saling curiga antarkelompok sudah amat mengental, tidak ada satu pihak pun yang memiliki legitimasi untuk memprakarsai upaya rekonsiliasi.
Akibatnya, jalan menuju rontoknya bangunan kekuasaan di tingkat pusat akan semakin lempang. Perkembangan ini secara otomatik akan mendorong penguatan potensi gerakan-gerakan separatisme. Gerakan ini bisa menguat dari wilayah yang sudah sejak lama menyimpan bibit-bibit mikro nasionalisme, bisa juga dari wilayah yang sama sekali tidak memiliki bibit itu, namun terdorong oleh kalkulasi logis mereka ketika berhadapan dengan situasi yang bersifat fait a compli. Yang terakhir ini merupakan kesadaran yang lahir secara kondisional dari para pemimpin di wilayah-wilayah yang relatif jauh dari pusat kekuasaan berdasarkan asumsi: daripada mengikuti pemerintahan yang sudah rontok di pusat, lebih baik kami memisahkan diri.
Ketiga, krisis sosial dimulai dari terjadinya disharmoni dan bermuara pada meletusnya konflik kekerasan di antara kelompok-kelompok masyarakat (suku, agama, ras). Jadi, di kala krisis ekonomi sudah semakin parah, yang akibatnya antara lain terlihat melalui rontoknya berbagai sektor usaha, naiknya jumlah penganggur, dan meroketnya harga berbagai produk, maka kriminalitas pun akan meningkat dan berbagai ketegangan sosial menjadi sulit dihindari. Dalam situasi seperti ini, hukum akan terancam supremasinya dan kohensi sosial terancam robek. Suasana kebersamaan akan pupus dan rasa saling percaya akan terus menipis. Sebagai gantinya, eksklusivisme, entah berdasar agama, ras, suku, atau kelas yang dibumbui sikap saling curiga yang terus menyebar dalam hubungan antarkelompok. Bila berbagai ketegangan ini tidak segera diatasi, maka eskalasi konflik menjadi tak terhindarkan. Disharmoni sosial pun dengan mudah akan menyebar. Modal sosial berupa suasana saling percaya, yang merupakan landasan bagi eksistensi sebuah masyarakat bangsa, perlahan-lahan akan hancur.
Keempat, intervensi internasional yang bertujuan memecah-belah, seraya mengambil keuntungan dari perpecahan itu melalui dominasi pengaruhnya terhadap kebijakan politik dan ekonomi negara-negara baru pascadisintegrasi. Intervensi itu bergerak dari yang paling lunak, berupa pemberian advis yang membingungkan kepada pemerintah nasional yang pada dasarnya sudah kehilangan arah; ke bentuk yang agak kenyal, berupa provokasi terhadap kelompok-kelompok yang berkonflik; hingga yang paling keras, berupa suplai kebutuhan material untuk memperkuat kelompok-kelompok yang berkonflik itu. Proses intervensi terakhir ini amat mungkin terjadi saat pemerintah nasional sudah benar-benar tak berdaya mengontrol lalu lintas informasi, komunikasi, mobilitas sosial, serta transportasi darat, laut, dan udara. Bila ini terjadi, maka jalan menuju disintegrasi semakin jelas, hanya menunggu waktu sebelum menjadi kenyataan.
Kelima, demoralisasi birokrasi sipil, tentara dan polisi dalam bentuk pupusnya keyakinan mereka atas makna pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat. Demoralisasi itu, pada kadar yang rendah dipengaruhi oleh merosotnya nilai gaji yang mereka terima akibat krisis ekonomi.
Kemerosotan itu umumnya terjadi akibat inflasi. Tetapi dalam kasus tertentu hal itu diakibatkan oleh kebijakan pemerintah untuk menurunkan gaji mereka atau membayar kurang dari 100 persen dan sisanya menjadi utang pemerintah. Pada tingkat tinggi, demoralisasi itu berupa hilangnya kepercayaan mereka terhadap nilai pengabdian setelah mengalami tekanan-tekanan psikologis yang berat dalam waktu lama akibat krisis politik yang akut. Dalam situasi seperti ini, tentara dan polisi yang seyogianya mencegah konflik sosial malah bisa tergiring untuk mengambil bagian dalam konflik itu dengan berbagai alasan. Secara teoretik, ketika negara tidak lagi memberi harga yang pantas terhadap pengorbanan tentara dan polisi dalam menjaga integrasi bangsa, maka tempat paling aman bagi segmen-segmen tertentu dari mereka adalah kelompok-kelompok sosial di mana mereka bisa mengidentikkan dirinya. Karena itu, demoralisasi tentara dan polisi amat rawan terhadap perluasan dan intensitas konflik sosial yang sedang terjadi. Keterlibatan yang luas dari tentara dan polisi dalam konflik sosial akan mengkonversi konflik itu sendiri menjadi perang saudara yang justru merupakan episode terakhir dari proses disintegrasi bangsa dan keruntuhan sebuah negara.

IV.Alternatif Kebijakan

Hampir semua ahli ekonomi yang melihat fenomena krisis ekonomi di Indonesia sependapat bahwa akar dari krisis ekonomi yang berkepenjangan di Indonesia adalah karena disebabkan oleh distribusi penguasaan asset-aset perekonomian yang tidak merata. Oleh karena itu kebijakan ekonomi Indonesia yang selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru dan sampai saat ini masih bertumpu pada penguasaan modal oleh segelintir konglomerat harus segera mulai diarahkan pada kepada ekonomi yang yang bercorak kerakyatan dengan koperasi sebagai lokomotifnya sesuai amanat UUD 1945.
Perpecahan yang terjadi antara elit ditingkat nasional telah merembes sampai ketingkat paling rendah dari struktur negara yang pada gilirannya membuat bargaining potition Negara menjadi semakin lemah dalam menghadapi berbagai tuntutan separatisme karena perbedaan konsep antar elit tersebut tidak dapat diformulasikan menjadi suatu kebijakan bersama yang saling memberi kekuatan untuk kepentingan bersama. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan untuk dapat membuat system yang saling memberi kekuatan bagi elit nasional dalam menghadapi permasalahan bersama dengan semangat chek and balances.
Krisis sosial dan disharmoni antara warga masyarakat dalam suatu pada umumnya dimulai dari adanya rasa ketidak adilan sosial diantara warga masyarakat dan rasa tidak aman untuk hidup bersasma sebagai satu masyarakat. Dalam masyarakat dengan kondisi seperti ini akan sangat rentan terhadap provokasi dari pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang menginginkan terjadinya dis-integrasi bangsa. Untuk itu harus dapat dirumuskan suatu kebijakan yang dapat menjamin rasa aman dan rasa keadilan warga masyarakat yang tidak lain adalah penegakkan hukum secara adil dan jaminan bagi warga Negara untuk memiliki kedudukan yang sama didepan hukum.
Dalam era globalisasi seperti sekarang ini saling ketergantungan antar bangsa dan antar Negara adalah sesuatu yang lumrah terjadi. Yang menjadi masalah adalah apabila ketergantungan tersebut menjadi tidak seimbang pihak yang kuat akan terdorong untuk mengendalikan pihak yang tergantung padanya untuk keuntungannya sendiri tanpa peduli nasib pihak yang tergantung padanya tersebut. Untuk bagi bangsa Indonesia yang ingin tetap berdiri tegak dalam pergaulan global dunia harus dapat memformulasikan suatu kebijakan yang yang dapat menjamin ketahanan nasional terhadap ketergantungan dari pihak luar secara berlebihan.
Aparatur Negara baik sipil, polisi maupun tentara mempunyai kedudukan yang sangat dominan bagi kelangsungan hidup suatu Negara. Dengan aparatur Negara yang baik maka kalangsungan hidup Negara dapat dijaga dengan baik. Untuk itu maka dalam kebijakan Negara harus dapat menjamin aparatur Negara dapat hidup secara cukup sehingga segala daya dan upayanya hanya ditujukan bagi kelangsungan Negara.

V. Rekomendasi Kebijakan

Untuk itu maka strategi dan upaya yang kami rekomendasikan dalam menjaga keutuhan bangsa dan mencegak disintegrasi nasional adalah sebagai berikut ;
Dalam kebijakan Negara harus dapat memberikan keadilan dan pemerataan ekonomi bagi seluruh warganya. Dalam kasus Indonesia harus ada kebijakan untuk merestrukturisasi penguasaan asset nasional yang tidak seimbang dengan memberi peluang bagi masyarakat luas untuk mempunyai akses terhadap modal dari perbankan.
Dalam kebijakan Negara harus dapat mengatur suatu system politik yang mengakomodir adanya perbedaan dengan tetap mengedepankan persatuan dan kesatuan. Dalam kasus Indonesia system rekruitmen elit nasional baik eksekutif, legislative maupun yudikatif sedapat mungkin harus dilakukan secara transparan serta susunan dan kedudukan antara lembaga-lembaga Negara harus dapat mengatur dengan jelas batas-batas kewenangan masing-masing lembaga tidak ada ketidak jelasan tumpang tindih kewenangan antar lembaga Negara.
Dalam kebijakan Negara harus mengutamakan penegakan hukum dengan keharusan menempatkan setiap warga Negara mempunyai kedudukan yang sam didepan hukum dan memperoleh kepastian hukum secara adil.
Dalam kebijakan negara harus dapat mengatur dan menjamin pertahanan dan keamanan Negara dalam segala segi baik dari struktur maupun infrastrukturnya.
Dalam kebijakan Negara harus dapat menjamin pemberian revenue bagi aparatur negara karena hanya apabila terpenuhi kebutuhanya secara cukup aparatur Negara dapat bekerja secar optimal dalam menjaga kelangsngan hidup Negara.


Daftar Pustaka
Suradinata Ermaya, 2003, Fenomena Disintegrasi Bangsa, Seminar nasional Dalam rangka PPM Angk. XI dan Dies Natalis XIII STPDN
Dunn William N. terj. Muhajir Darwin,1998, Analisa Kebijakan Publik, PT. Hanindita Graha Widya, Yogyakarta
Gautama, Chandra dan Marbun, B.N., 2000, Hak Asasi Manusia Penyelenggaraan Negara Yang Baik dan Masyarakat Warga, Komnas HAM
Permana, Setia,2003, Mempertanyakan Kembali Pluralisme Indonesia, Pikiran Rakyat 7 April 2003
Rasyid, Ryas,1998, Nasionalisme dan Demokrasi Indonesia Menghadapi Tantangan Globalisasi, PT. Yasrif Watampone, Jakarta
Rasyid,Madjid, Mahendra, 1998, Pemerintahan yang Amanah, PT.BINA RENA PARIWARA, Jakarta
Rasyid, Ryas, 2001, Faktor-faktor Penyebab Disintegrasi Bangsa dan Bubarnya Suatu Negara,Kompas 27 September 2001.
Suradinata, Ermaya, 2003, Fenomena Disintegrasi Bangsa, Seminar nasional Dalam rangka PPM Angk. XI dan Dies Natalis XIII STPDN