I. LATAR BELAKANG
Bagi bangsa Indonesia pernyataan kemerdekaan 1945 adalah suatu ''Manifesto Politik''. Dari situ kita bertekad ''berdaulat di dalam kehidupan politik, berdikari di dalam kehidupan ekonomi dan berkepribadian di dalam kehidupan budaya''. Namun, dalam perjalanan sejarah nasional kita, tekad politik itu sering mengendor atau bahkan dikorbankan.
Indonesia, seperti negara-negara berkembang non-komunis pada umumnya, belum terlepas dari jebakan sejarah masa lampaunya. Mereka masih menyandang ciri-ciri sebagai berikut: (1) Masa lalunya berada dalam kekuasaan kolonialisme dan feodalisme. (2) Setelah mencapai kemerdekaan politis, negara-negara ini kembali berada dalam kekuasaan kolonialisme dan feodalisme dalam bentuk barunya yaitu neocolonialism dan neofeodalism. (Sri Edy Swasono & Sritua Arief; 1999)
Kedua bentuk kolonialisme dan feodalisme baru ini merevitalisasi basic-instinct yang dikandungnya masing-masing, yaitu secara permanen menyimpan niat eksploitatif dengan cara lebih halus dan canggih. Basic-instinct itu harus kita waspadai dengan baik. Demikian pula terhadap Indonesi. Salah satu bentuk basic instinct itu dimanifestasikan dengan pemberian bantuan berupa pemberian utang pinjaman yang syarat-syaratnya akan mengekang kemedekaan Indonesia sebagai Negara berdaulat.
Utang luar negeri dirasakan mulai menjerat Indonesia tatkala badai krisis moneter mulai melanda kawasan Asia Tenggara diawal tahun 1997 dimana nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika menurun drastis dari Rp. 2.500/Dollar merosot menjadi Rp.16.000/ Dollar ditahun 1998. kondisi ini menbuat utang Luar negeri Indonesia yang umumnya dalam bentuk dollar meroket berkali-kali lipat dari produksi barang Indonesia dinilai dengan Rupiah. Dalam kondisi lemah inilah masuk Internasional Monetery Fund (IMF) yang menawarkan asistensi dalam bentuk Letter of Intensi (Loi) yang isinya oleh berbagai kalangan dinilai tidak menyembuhkan luka ekonomi Indonesia tetapi malah lebih menjerumuskan Indonesia kedalam jurang kemelaratan dankemali kealam penjajahan karena kemerdekaan Indonesia sebagai negara berdaulat banyak dipasung oleh pasal-pasal dalam Loi tersebut
Sedang utang dalam negeri dirasakan mulai menjerat Indonesia sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Pada saat itu pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menyelamatkan perbankan nasional. Salah satu kebijakan tersebut adalah memberikan jaminan keamanan dana nasabah bank nasional karena di Indonesia belum ada peraturan penjaminan dana nasabah di bank. Jadi kalau banknya bangkrut maka pemerintah yang harus menggantinya. Mekanismenya adalah dengan mengeluarkan Bantuan Liquiditas Bank Indonesia (BLBI) sekitar Rp.600 Triliun kepada bank-bank dalam negeri yang hampir bankrut dan melepaskan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk menjamin kelangsungan hidup bank-bank tersebut yang bunganya pernah mencapai 17%.
Disamping itu untuk membiaya kegiatan-kegiatannya pemerintah juga mengeluarkan obligasi Negara (T. bond) dalam mata uang rupiah dan valas. Sebagai contah pada Februari 2004 lalu, pemerintah telah menerbitkan obligasi negara senilai Rp 2,5 triliun. Berikutnya pada, 16 Maret 2004, pemerintah akan menerbitkan kembali obligasi negara dengan target indikatif sebesar Rp 2 triliun. Pemerintah menargetkan penerbitan obligasi negara ini setiap bulan.(
http://www.republika.co.id/; 2004 ) dengan kebijakan demikian maka utang dalam negeri pemerintah setiap bulannya akan terus bertambah.
Kebijakan pemerintah mengenai penerbitan obligasi Negara (T. Bond) ini dikeluarkan melalui UU No. 24/2002 tentang Surat Utang Negara. Dibentuknya Undang-undang ini adalah untuk memberikan kepastian sekaligus landasan hukum, bagi pemodal dan/atau masyarakat serta guna mewujudkan transparansi, profesionalitas dan tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan manajemen surat utang negara yang mana pelaksanaannya adalah dalam rangka mengurangi beban dan risiko keuangan bagi negara dimasa mendatang seperti yang dialami dari pengalaman melakukan pinjaman luar negeri yang dirasakan akhirnya merongrong kemerdekaan Indinesia sebagai negara berdaulat.
Dengan melihat bahwa kebijakan pemerintah dalam mengatasi persoalan penyelesaian utang Pemerintah baik itu utang luar negeri maupun utang dalam negeri adalah kebijakan yang sedang dijalankan oleh pemerintah saat ini maka fungsi analisa yang dijalankan adalah Policy Action. Adapun fungsi-fungsi dalam policy action meliputi : Actuating, Coordinating, motivating, Budgeting, Human relation, dan Decition making.
Untuk mendapatkan informasi dalam tulisan, kami menggunakan 3 (tiga) pendekatan yaitu empiris, evaluatif dan normatif. Empiris adalah menjelaskan sebab akibat dari kebijaksanaan publik ; evaluatif adalah berkenaan dengan penentuan nilai dari beberapa kebijaksanaan ; dan normatif adalah pengusulan arah dan tindakan yang akan memecahkan problem-problem kebijaksanaan. (William N. Dunn, 47 : 1998). Selain pendekatan yang digunakan dalam, kami juga mencoba menggunakan prosedur-prosedur dalam analisa kebijakan yang dimulai dari pemantauan, evaluasi, perumusan masalah, peramalan dan rekomendasi, sehingga memungkinkan kita dapat menghasilkan informasi mengenai kemungkinan bahwa arah tindakan dimasa yang akan datang menimbulkan akibat-akibat yang bernilai.
II. LINGKUP DAN RAGAM MASALAH
Karena luasnya permasalahan dalam analisis kebijakan yang harus dikaji dan keterbatasan waktu, maka dalam tulisan ini kami tidak akan menganalisis kebijakan pemerintah dalam mengatasi utang luar negeri dan dalam negeri secara keseluruhan, tetapi hanya mengkaji kebijakan penerbitan Obligasi Negara sebagai upaya mengurangi ketergantungan pembiayaan defisit negara dari pinjaman luar negeri dan bagaimana menghindari jerat utang dalam negeri dari bunga obligasi negara yang sangat tinggi.
III. PERNYATAAN MASALAH
A. Utang luar negeri
Banyak yang tak menyadari bahwa konsepsi utang luar negeri yang dianut pemerintah sangat dipengaruhi pandangan para ekonom neoliberal. Sesuai pandangan umum yang dianut para pengikut Reagan dan Thatcher tersebut, pembuatan utang luar negeri pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dua hal: pertama, menutupi kesenjangan antara jumlah tabungan dan kebutuhan investasi. Kedua, untuk memanfaatkan suku bunga murah yang ditawarkan sindikat lembaga-lembaga keuangan multilateral yang menyalurkan utang tersebut.
Berdasarkan kedua tujuan itu, jelas kelihatan betapa konsepsi utang luar negeri para ekonom neoliberal sangat dipengaruhi paradigma pembangunan mereka yang sangat memuliakan pertumbuhan. Dalam pandangan para ekonom neoliberal, pembangunan memang identik dengan pertumbuhan. Kecenderungan ini sejalan dengan pandangan mereka yang meletakkan pertumbuhan di atas pemerataan. Sebagaimana sering mereka kemukakan, "Jika tidak ada pertumbuhan, apa yang mau diratakan?"
Dengan paradigma pembangunan seperti itu, para ekonom neoliberal dengan sadar menempatkan investasi dan investor di atas segala-galanya. Dalam ungkapan sederhana, paradigma pembangunan ekonomi neoliberal pada dasarnya bertumpu pada prinsip "investor first, people second". Prinsip inilah yang sering mereka kemukakan melalui ungkapan "bersahabat dengan pasar".
Mudah dimengerti jika para ekonom neoliberal cenderung menghindari segala tindakan yang dalam pandangan mereka dapat merusak kepercayaan pasar. Tuntutan pemotongan utang, misalnya, dengan sendirinya bertentangan dengan garis pemikiran mereka.
Mengikuti pandangan ini untuk menjaga “Kepercayaan pasar “ maka dalam mengatasi persoalan utang luar negeri maka pemerintah Indonesia tidak seperti Negara-negara Amerika Latin yang meminta pemotongan utang luar negeri mereka. Pemerintah Indonesia, hanya dapat meminta kepada kreditor asing agar dapat dilakukan penjadwalan kembali pembayaran utang luar negeri Indonesia baik bunga maupun utang pokoknya. Utang luar negeri Indonesia sudah sedemikian besar jumlahnya yang tidak diimbangi oleh kemampuan membayar bunga dan cicilannya. Pengalaman menunjukkan bahwa krisis utang luar negeri di banyak negara pengutang dunia terjadi sebagai akibat besarnya akumulasi utang luar negeri yang tidak mampu terlunasi sesuai dengan jadwal yang telah disepakati.
Menurut Dornbusch (1993), krisis utang menunjukkan adanya ketidakmampuan debitur untuk melakukan pembayaran bunga dan pokok utang sesuai jadwal. Ada 5 faktor yang mengawali kondisi krisis tersebut yakni:
- Tidak adanya upaya menjadwalkan ulang utang dan meningkatnya tingkat bunga riil akan semakin meningkatkan kebutuhan dana, yang mana ketidakseimbangan antara kebutuhan dana segar dan suplai kredit akan menimbulkan kesenjangan;
- Terganggunya Non Interest Current Account karena mem-buruknya perekonomian secara makro;
- Naiknya inflasi dunia mendorong peningkatan suku bunga nominal;
- Pada kondisi tingkat bunga dan Non Interest Current Account yang tetap, kreditor akan memutuskan bahwa jumlah utang sudah sangat besar sehingga mulai membatasi tambahan utang baru;
- Aktivitas industri di negara-negara maju mempengaruhi permintaan ekspor di negara berkembang, resesi menyebabkan turunnya permintaan dan harga komoditi sehingga mempengaruhi kemam-puan debt service negara debitor.
Dengan tingkat utang LN pemerintah Indonesia yang sudah pada tingkat yang sulit dikelola. Lalu apakah strategi penjadwalan ulang cukup memadai untuk mengatasinya? Jelas tidak. Penjadwalan ulang hanya memindahkan persoalan ke waktu yang lebih lama. Tapi bebannya tetap saja sama. Sebagai misal, Jepang setuju menjadwal ulang utang senilai US$ 2.8 milyar, hingga setidaknya tahun 2016. Padahal, selama 2016-2018 terdapat beban utang dalam negeri sekitar Rp 140 triliun/tahun. Jelas ini membuat beban hutang APBN tahun tersebut akan membengkak. Oleh sebab itu, selain penjadwalan ulang, diperlukan strategi lain yang lebih radikal agar manajemen utang LN pemerintah bisa lebih optimal.
B. Obligasi Negara
PEMERINTAH saat ini sibuk mencari talangan untuk dana APBN (Anggaraan Pendapatan dan Belanja Negara) yang diperkirakan masih kurang (deficit). Hal ini adalah salah satu akibat dan buah dari kesepakatan kita menolak jeratan yang mencekik leher dari IMF. Dan talangan itu berupa penerbitan obligasi negara (government bond) atau surat utang negara dalam mata uang asing. Dana yang diharapkan dalam penerbitan obligasi itu bernilai 500 juta dolar AS. Kontroversi terjadi. Ada yang mempertanyakan, apa bedanya berutang ke IMF dengan penerbitan obligasi? Alasannya, keduanya masih merupakan utang juga. Masih ada bunga yang akan memperberat neraca pembayaran. Bukankah tindakan menerbitkan obligasi seperti gali lobang tutup lobang?
Namun ada juga yang mendukung tindakan pemerintah, karena obligasi dijual kepada masyarakat dan dicatatkan di sebuah bursa efek. Hal ini menunjukkan, tidak ada unsur tekanan yang bersifat politis, sebagaimana yang kita rasakan pada saat meminjam kepada IMF, Bank Dunia maupun negara-negara ‘sahabat’. Yang akan ada, sebagaimana sifat investor sejati, tuntutan agar pengembalian dana obligasi maupun kupon bunganya tepat waktu. Sejalan dengan itu, investor akan menuntut ketransparanan dari penerbit obligasi. Tanpa ketransparanan, investor enggan menyentuh obligasi itu. Dan hal ini terlihat dari rating obligasinya. Jika ratingnya rendah, maka obligasi itu tak laku dijual. Biarlah kontroversi terjadi. Biarlah orang mengemukakan pendapatnya dalam era reformasi ini. Bukankah reambut sama hitam, tapi isi kepala berbeda? Dan bukankah dengan banyak kepala yang ikut memikirkan, diharapkan bakal menghasilkan keputusan yang lebih baik? Jika selintas dilihat, tentu obligasi negara seperti gali lobang tutup lobang. Tapi benarkah begitu? Tentu tidak semuanya bener. Obligasi tidak akan mengikat negara terhadap pembeli obligasi. Pemerintah bisa melakukan rencananya yang sudah dianggarkan dengan bebas. Jika kita berutang ke IMF atau sebuah negara, maka apa yang pemerintah anggarkan, haruslah berasal dari mereka. Kita lihat saja, saat pinjam uang ke Jepang, maka semua pembelanjaan dana pinjaman itu terkait dengan Jepang. Konsultannya, kontraktornya, pemasoknya dan sebagainya, harus dari Jepang. Biasanya tarif mereka jauh lebih tinggi dibanding tarif pasar. Artinya, kucuran itu kembali lagi ke mereka. Sedangkan yang kita dapatkan, adalah utang. Semakin lama beban semakin berat, karena ada bunganya.
Namun pada obligasi, begitu terbit dan dibayar investor, dana mengalir ke pemerintah. Pemerintah bisa secara bebas tunjuk konsultan, kontraktor, pemasok maupun apa saja yang terkait pembelanjaan yang dianggarkan. Tentu, penerbitan obligasi negara merupakan jalan keluar yang baik dari jeratan utang seperti kepada IMF. Namun, penerbitan obligasi itu tetap akan menjadi gali lobang tutup lobang, jika bangsa ini tetap korup. Biar pun pemerintah bisa bebas menentukan pembelanjaannya, jika seluruh aparat bermental korup, maka hasilnya adalah beban utang yang berat.
Disamping itu yang harus diperhatikan bahwa dengan bunga SBI dan obligasi Negara yang sangat tinggi akan membuat bank-bank nasional menjadi malas untuk melakukan deversifikasi usaha sebab dengan selisih yang besar antara bunga bank dan bungan SBI/ obligasi Negara untuk mendapatkan laba bank cukup berusaha untuk menarik dana penabung sebanyak-banyaknya selanjutnya dibelikan obligasi Negara. Selain itu bahwa Penerbitan obligasi Pemerintah ini akan menambah beban utang pemerintah. Karena misalnya penerbitan obligasi internasional dalam bentuk mata uang dollar Amerika, maka beban utang luar negeri pemerintah akan membengkak. Hingga Februari 2003 jumlah utang luar negeri pemerintah Indonesia mencapai US $ 74,2 milyar – sekitar Rp 630,7 trilyun. Sementara itu nilai nominal (nominal amount) obligasi dalam negeri pemerintah yang sudah diterbitkan untuk program restrukturisasi perbankan (BLBI dan program rekapitalisasi perbankan) mencapai Rp 645,78 trilyun. Jadi total utang pokok pemerintah adalah Rp 1.276, 48 trilyun.
IV. ALTERNATIF KEBIJAKAN
- Untuk mengatasi ketergantungan terhadap utang luar negeri pemerintah harus mencari alternatif lain dalam APBN dengan memanfaatkan potensi yang ada di dalam negeri.
- Untuk mengatasi utang dalam negeri pemerintah dari bunga obligasi Negara yang sangat tinggi sebaiknya agar pemerintah membuat kebijakan yang menyeluruh untuk menurunkan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), menggerakkan sektor riil, dan menciptakan lapangan kerja.
- Birokrasi pemerintah Indonesia sudah sangat besar sehingga menjadi sangat boros dam merongrong pembiayaan negara sehingga sudah waktunya untuk dilakukannya pemangkasan birokrasi dengan dengan kebijakan membuat pertumbuhan birokrasi menjadi zero growth.
- Memberatas korupsi melalui upaya penegakkan hukum, karena ternyata penyebab terbesar terjadeinya pemborosan dalam anggaran Negara adalah karena tingkat korupsi yang sangat tinggi. berdasrkan Survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2002, Indonesia tercatat sebagai Negara terkorup di Asia.. Sementara indeks korupsi dari Transparancy Internasional (TI) menempatkan Indonesia diposisi ke 7 terkorup dari 102 negara.
V. REKOMENDASI KEBIJAKAN
- Agar pemerintah sedapat mungkin mengurangi ketergantungan APBN dari pinjaman luar negeri.
- Agar Pemerintah segera Menurunkan bunga sertifikat Bank Indonesia danv mendorong bank-bank nasional agar lebih intensif mengucur kredit sehingga sektor riil dapat bergerak yang pada giliran akan menciptakan lapangan kerja dan memperbaiki perekonomian nasinal secara keseluruhan.
- Agar Pemerintah lebih mengefisienkan birokrasai Pemerintah dengan jalan Merestrukturisasi birokrasi pemerintah yang sudah sangat gemuk sehingga dirasa telah memberatkan anggran pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA]
Djohermansya, Djohan,1997, Fenomena Pemerintahan, PT. Yasir Watampone, Jakarta
Dunn William N. terj. Muhajir Darwin,1998, Analisa Kebijakan Publik, PT. Hanindita Graha Widya, Yogyakarta
Rahardjo, Dawam, 2001, Independensi Bank Indonesia dalam Kemelut Politik, PT.Pustaka Cidesindo, Jakarta
Steiner, George A., 1997, Kebijakan dan Strategi Maanajemen, Penerbit Erlangga, Jakarta
Swasono, Sri Edi, 1997, Pembangunan Tanpa Utang: Utang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia, Republika, Jakarta
Wibowo, Drajat, 2004, Optimalisasi Manajemen Itang Pemerintah, INDEF, Jakarta
http://www.republika/. Or.id
WWW.INDOREGULATION.COM
D O K U M E N
1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Ke-empat
2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara
3) Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2003 Tentang Pengendalian Julah Kumulatif Devisit APBN Dan APBD serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemda.