Monday 30 June 2008

Asal Mula Orang Buton

Kebesaran suatu kaum dapat di ukur dari kontribusi yang di sumbangkan oleh kaum tersebut terhadap peradaban. Apa yang telah disumbangkan oleh Orang Buton sebagai suatu kaum terhadap peradaban?

Kebudayan Buton adalah kebudayaan yang tertua dan terkaya di Jazirah Tenggata Pulau Sulawesi. Kekayaan dan keontentikan kebudayaan ini masih dapat di lihat dari banyaknya peninggalan budaya dari masa lampau yang masih utuh dan tetap terpelihara baik dalam bentuk bangunan, adat istiadat dalam perilaku masyarakat maupun dalam bentuk karya seni.

Sebagai suatu masyarakat Buton mulai tercatat dalam dalam literatur sejak abad-13. Dalam buku Negarakertagama tulisan Mpu Prapanca tahun 1365 terungkap nama Butun-Banggawi sebagai suatu tempat yang termasuk dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada masa itu kiranya di kawasan ini telah berdiri suatu masyarakat kerajaan dengan susunan sosial politik yang relatif teratur. Selain nama Buton tidak terlepas pula nama Wolio untuk menyebut masyarakat kerajaan ini.

Dalam Hikayat Sipanjonga disebutkan bahwa pendiri Kerajaan Buton adalah Mia Patamiana yang secara harfiah dapat diartikan sebagai "orang yang empat". keampat orang ini yang terdiri dari Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo dan Sijawangkati berasal dari Johor Semenanjung Malaya. Mereka mendarat di daratan Buton dalam dua rombongan. rombongan Sipanjongan dan Simalui mendarat di Kalampa sedangkan rombongan Sitamanajo dan Sijawangkati mendarat di Walalogusi. mereka kemudian membangun pemukiman di tepi pantai tempat mereka mendarat. Selanjutnya mereka kemudian bergabung membangun pemukiman baru. Dalam membangun pemukiman baru tersebut mereka membuka hutan dan menebangi kayu yang dalam bahasa setempat di sebut Welia. Dari kata Welia inilah konon muncul nama Wolio.

Dalam kisah lain disebutkan adanya kelompok masyarakat yang hidup di daerah pedalaman Pulau Buton. Mereka dipimpin oleh Dungkucangia yang dikisahkan sebagai seorang Komandan tentara Kubilai Khan yang diperintahkan untuk menghancurkan Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosasi. Dalam sejarah tercatat bahwa misi yang dijalankan oleh pasukan tentara Kubilai Khan tersebut kemudian digagalkan, dihancurkan dan cerai beraikan oleh Raden Wijaya yang selanjutnya mendirikan Kerajaan Majapahit. Dungkucangia ini dikisahkan sebagai bagian dari Tentara Kubilai Khan yang tercerai berai tadi yang tidak kembali lagi kenegerinya yang kemudian mendarat di Pulau Buton dan memimpin Kerajaan Tobe-Tobe. Oleh karena suatu perbedaaan kepentingan Sijawangkati dan Dungkucangia terlibat dan perselisihan yang harus diselesaikan melalui adu kesaktian dalam suatu pertarungan. tidak ada yang menang dan kalah dalam pertarungan tersebut sehingga mereka kemudian bersepakat untuk membangun kehidupan dalam suatu ikatan persaudaraan. Sebagai wujud ikatan persaudaraan tersebut Dungkucangia kemudian memasukkan Kerajaan Tobe-Tobe yang dipimpinnya dalam wilayah Kerajaan Buton.

Adapun kisah terjadinya Buton dalam versi Islam adalah ketika seorang musafir arab di perintahkan oleh Rasulullah SAW untuk berlayar ke timur menuju ke sebuah pulau yang sudah lama merindukan kedatangan Islam. Setibanya di Bulau tersebut, Musafir menaruh jubahnya di suatu tempat sehingga jubah tersebut menjadi perhatian penduduk setempat. mereke ingin mengetahui siapa pemilik jubah tersebut. Sementara itu bertengger 7 ekor burung di pohon dekat jubah, sambil menyuarakan bergantian " butuni-butuni-butuni" maka bersujudlah orang-orang di sana begitu melihat ternyata musafir tersebut adalah seorang Waliyyullah. dari kata Waliyullah tersebutlah kemudian di sebut Wolio.




Thursday 12 June 2008

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MEMECAHKAN MASALAH UTANG LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI

I. LATAR BELAKANG

Bagi bangsa Indonesia pernyataan kemerdekaan 1945 adalah suatu ''Manifesto Politik''. Dari situ kita bertekad ''berdaulat di dalam kehidupan politik, berdikari di dalam kehidupan ekonomi dan berkepribadian di dalam kehidupan budaya''. Namun, dalam perjalanan sejarah nasional kita, tekad politik itu sering mengendor atau bahkan dikorbankan.

Indonesia, seperti negara-negara berkembang non-komunis pada umumnya, belum terlepas dari jebakan sejarah masa lampaunya. Mereka masih menyandang ciri-ciri sebagai berikut: (1) Masa lalunya berada dalam kekuasaan kolonialisme dan feodalisme. (2) Setelah mencapai kemerdekaan politis, negara-negara ini kembali berada dalam kekuasaan kolonialisme dan feodalisme dalam bentuk barunya yaitu neocolonialism dan neofeodalism. (Sri Edy Swasono & Sritua Arief; 1999)

Kedua bentuk kolonialisme dan feodalisme baru ini merevitalisasi basic-instinct yang dikandungnya masing-masing, yaitu secara permanen menyimpan niat eksploitatif dengan cara lebih halus dan canggih. Basic-instinct itu harus kita waspadai dengan baik. Demikian pula terhadap Indonesi. Salah satu bentuk basic instinct itu dimanifestasikan dengan pemberian bantuan berupa pemberian utang pinjaman yang syarat-syaratnya akan mengekang kemedekaan Indonesia sebagai Negara berdaulat.

Utang luar negeri dirasakan mulai menjerat Indonesia tatkala badai krisis moneter mulai melanda kawasan Asia Tenggara diawal tahun 1997 dimana nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika menurun drastis dari Rp. 2.500/Dollar merosot menjadi Rp.16.000/ Dollar ditahun 1998. kondisi ini menbuat utang Luar negeri Indonesia yang umumnya dalam bentuk dollar meroket berkali-kali lipat dari produksi barang Indonesia dinilai dengan Rupiah. Dalam kondisi lemah inilah masuk Internasional Monetery Fund (IMF) yang menawarkan asistensi dalam bentuk Letter of Intensi (Loi) yang isinya oleh berbagai kalangan dinilai tidak menyembuhkan luka ekonomi Indonesia tetapi malah lebih menjerumuskan Indonesia kedalam jurang kemelaratan dankemali kealam penjajahan karena kemerdekaan Indonesia sebagai negara berdaulat banyak dipasung oleh pasal-pasal dalam Loi tersebut

Sedang utang dalam negeri dirasakan mulai menjerat Indonesia sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Pada saat itu pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menyelamatkan perbankan nasional. Salah satu kebijakan tersebut adalah memberikan jaminan keamanan dana nasabah bank nasional karena di Indonesia belum ada peraturan penjaminan dana nasabah di bank. Jadi kalau banknya bangkrut maka pemerintah yang harus menggantinya. Mekanismenya adalah dengan mengeluarkan Bantuan Liquiditas Bank Indonesia (BLBI) sekitar Rp.600 Triliun kepada bank-bank dalam negeri yang hampir bankrut dan melepaskan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk menjamin kelangsungan hidup bank-bank tersebut yang bunganya pernah mencapai 17%.

Disamping itu untuk membiaya kegiatan-kegiatannya pemerintah juga mengeluarkan obligasi Negara (T. bond) dalam mata uang rupiah dan valas. Sebagai contah pada Februari 2004 lalu, pemerintah telah menerbitkan obligasi negara senilai Rp 2,5 triliun. Berikutnya pada, 16 Maret 2004, pemerintah akan menerbitkan kembali obligasi negara dengan target indikatif sebesar Rp 2 triliun. Pemerintah menargetkan penerbitan obligasi negara ini setiap bulan.(http://www.republika.co.id/; 2004 ) dengan kebijakan demikian maka utang dalam negeri pemerintah setiap bulannya akan terus bertambah.

Kebijakan pemerintah mengenai penerbitan obligasi Negara (T. Bond) ini dikeluarkan melalui UU No. 24/2002 tentang Surat Utang Negara. Dibentuknya Undang-undang ini adalah untuk memberikan kepastian sekaligus landasan hukum, bagi pemodal dan/atau masyarakat serta guna mewujudkan transparansi, profesionalitas dan tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan manajemen surat utang negara yang mana pelaksanaannya adalah dalam rangka mengurangi beban dan risiko keuangan bagi negara dimasa mendatang seperti yang dialami dari pengalaman melakukan pinjaman luar negeri yang dirasakan akhirnya merongrong kemerdekaan Indinesia sebagai negara berdaulat.

Dengan melihat bahwa kebijakan pemerintah dalam mengatasi persoalan penyelesaian utang Pemerintah baik itu utang luar negeri maupun utang dalam negeri adalah kebijakan yang sedang dijalankan oleh pemerintah saat ini maka fungsi analisa yang dijalankan adalah Policy Action. Adapun fungsi-fungsi dalam policy action meliputi : Actuating, Coordinating, motivating, Budgeting, Human relation, dan Decition making.

Untuk mendapatkan informasi dalam tulisan, kami menggunakan 3 (tiga) pendekatan yaitu empiris, evaluatif dan normatif. Empiris adalah menjelaskan sebab akibat dari kebijaksanaan publik ; evaluatif adalah berkenaan dengan penentuan nilai dari beberapa kebijaksanaan ; dan normatif adalah pengusulan arah dan tindakan yang akan memecahkan problem-problem kebijaksanaan. (William N. Dunn, 47 : 1998). Selain pendekatan yang digunakan dalam, kami juga mencoba menggunakan prosedur-prosedur dalam analisa kebijakan yang dimulai dari pemantauan, evaluasi, perumusan masalah, peramalan dan rekomendasi, sehingga memungkinkan kita dapat menghasilkan informasi mengenai kemungkinan bahwa arah tindakan dimasa yang akan datang menimbulkan akibat-akibat yang bernilai.

II. LINGKUP DAN RAGAM MASALAH

Karena luasnya permasalahan dalam analisis kebijakan yang harus dikaji dan keterbatasan waktu, maka dalam tulisan ini kami tidak akan menganalisis kebijakan pemerintah dalam mengatasi utang luar negeri dan dalam negeri secara keseluruhan, tetapi hanya mengkaji kebijakan penerbitan Obligasi Negara sebagai upaya mengurangi ketergantungan pembiayaan defisit negara dari pinjaman luar negeri dan bagaimana menghindari jerat utang dalam negeri dari bunga obligasi negara yang sangat tinggi.

III. PERNYATAAN MASALAH

A. Utang luar negeri

Banyak yang tak menyadari bahwa konsepsi utang luar negeri yang dianut pemerintah sangat dipengaruhi pandangan para ekonom neoliberal. Sesuai pandangan umum yang dianut para pengikut Reagan dan Thatcher tersebut, pembuatan utang luar negeri pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dua hal: pertama, menutupi kesenjangan antara jumlah tabungan dan kebutuhan investasi. Kedua, untuk memanfaatkan suku bunga murah yang ditawarkan sindikat lembaga-lembaga keuangan multilateral yang menyalurkan utang tersebut.

Berdasarkan kedua tujuan itu, jelas kelihatan betapa konsepsi utang luar negeri para ekonom neoliberal sangat dipengaruhi paradigma pembangunan mereka yang sangat memuliakan pertumbuhan. Dalam pandangan para ekonom neoliberal, pembangunan memang identik dengan pertumbuhan. Kecenderungan ini sejalan dengan pandangan mereka yang meletakkan pertumbuhan di atas pemerataan. Sebagaimana sering mereka kemukakan, "Jika tidak ada pertumbuhan, apa yang mau diratakan?"

Dengan paradigma pembangunan seperti itu, para ekonom neoliberal dengan sadar menempatkan investasi dan investor di atas segala-galanya. Dalam ungkapan sederhana, paradigma pembangunan ekonomi neoliberal pada dasarnya bertumpu pada prinsip "investor first, people second". Prinsip inilah yang sering mereka kemukakan melalui ungkapan "bersahabat dengan pasar".

Mudah dimengerti jika para ekonom neoliberal cenderung menghindari segala tindakan yang dalam pandangan mereka dapat merusak kepercayaan pasar. Tuntutan pemotongan utang, misalnya, dengan sendirinya bertentangan dengan garis pemikiran mereka.

Mengikuti pandangan ini untuk menjaga “Kepercayaan pasar “ maka dalam mengatasi persoalan utang luar negeri maka pemerintah Indonesia tidak seperti Negara-negara Amerika Latin yang meminta pemotongan utang luar negeri mereka. Pemerintah Indonesia, hanya dapat meminta kepada kreditor asing agar dapat dilakukan penjadwalan kembali pembayaran utang luar negeri Indonesia baik bunga maupun utang pokoknya. Utang luar negeri Indonesia sudah sedemikian besar jumlahnya yang tidak diimbangi oleh kemampuan membayar bunga dan cicilannya. Pengalaman menunjukkan bahwa krisis utang luar negeri di banyak negara pengutang dunia terjadi sebagai akibat besarnya akumulasi utang luar negeri yang tidak mampu terlunasi sesuai dengan jadwal yang telah disepakati.

Menurut Dornbusch (1993), krisis utang menunjukkan adanya ketidakmampuan debitur untuk melakukan pembayaran bunga dan pokok utang sesuai jadwal. Ada 5 faktor yang mengawali kondisi krisis tersebut yakni:

  1. Tidak adanya upaya menjadwalkan ulang utang dan meningkatnya tingkat bunga riil akan semakin meningkatkan kebutuhan dana, yang mana ketidakseimbangan antara kebutuhan dana segar dan suplai kredit akan menimbulkan kesenjangan;
  2. Terganggunya Non Interest Current Account karena mem-buruknya perekonomian secara makro;
  3. Naiknya inflasi dunia mendorong peningkatan suku bunga nominal;
  4. Pada kondisi tingkat bunga dan Non Interest Current Account yang tetap, kreditor akan memutuskan bahwa jumlah utang sudah sangat besar sehingga mulai membatasi tambahan utang baru;
  5. Aktivitas industri di negara-negara maju mempengaruhi permintaan ekspor di negara berkembang, resesi menyebabkan turunnya permintaan dan harga komoditi sehingga mempengaruhi kemam-puan debt service negara debitor.
Dengan tingkat utang LN pemerintah Indonesia yang sudah pada tingkat yang sulit dikelola. Lalu apakah strategi penjadwalan ulang cukup memadai untuk mengatasinya? Jelas tidak. Penjadwalan ulang hanya memindahkan persoalan ke waktu yang lebih lama. Tapi bebannya tetap saja sama. Sebagai misal, Jepang setuju menjadwal ulang utang senilai US$­­ 2.8 milyar, hingga setidaknya tahun 2016. Padahal, selama 2016-2018 terdapat beban utang dalam negeri sekitar Rp 140 triliun/tahun. Jelas ini membuat beban hutang APBN tahun tersebut akan membengkak. Oleh sebab itu, selain penjadwalan ulang, diperlukan strategi lain yang lebih radikal agar manajemen utang LN pemerintah bisa lebih optimal.

B. Obligasi Negara

PEMERINTAH saat ini sibuk mencari talangan untuk dana APBN (Anggaraan Pendapatan dan Belanja Negara) yang diperkirakan masih kurang (deficit). Hal ini adalah salah satu akibat dan buah dari kesepakatan kita menolak jeratan yang mencekik leher dari IMF. Dan talangan itu berupa penerbitan obligasi negara (government bond) atau surat utang negara dalam mata uang asing. Dana yang diharapkan dalam penerbitan obligasi itu bernilai 500 juta dolar AS. Kontroversi terjadi. Ada yang mempertanyakan, apa bedanya berutang ke IMF dengan penerbitan obligasi? Alasannya, keduanya masih merupakan utang juga. Masih ada bunga yang akan memperberat neraca pembayaran. Bukankah tindakan menerbitkan obligasi seperti gali lobang tutup lobang?

Namun ada juga yang mendukung tindakan pemerintah, karena obligasi dijual kepada masyarakat dan dicatatkan di sebuah bursa efek. Hal ini menunjukkan, tidak ada unsur tekanan yang bersifat politis, sebagaimana yang kita rasakan pada saat meminjam kepada IMF, Bank Dunia maupun negara-negara ‘sahabat’. Yang akan ada, sebagaimana sifat investor sejati, tuntutan agar pengembalian dana obligasi maupun kupon bunganya tepat waktu. Sejalan dengan itu, investor akan menuntut ketransparanan dari penerbit obligasi. Tanpa ketransparanan, investor enggan menyentuh obligasi itu. Dan hal ini terlihat dari rating obligasinya. Jika ratingnya rendah, maka obligasi itu tak laku dijual. Biarlah kontroversi terjadi. Biarlah orang mengemukakan pendapatnya dalam era reformasi ini. Bukankah reambut sama hitam, tapi isi kepala berbeda? Dan bukankah dengan banyak kepala yang ikut memikirkan, diharapkan bakal menghasilkan keputusan yang lebih baik? Jika selintas dilihat, tentu obligasi negara seperti gali lobang tutup lobang. Tapi benarkah begitu? Tentu tidak semuanya bener. Obligasi tidak akan mengikat negara terhadap pembeli obligasi. Pemerintah bisa melakukan rencananya yang sudah dianggarkan dengan bebas. Jika kita berutang ke IMF atau sebuah negara, maka apa yang pemerintah anggarkan, haruslah berasal dari mereka. Kita lihat saja, saat pinjam uang ke Jepang, maka semua pembelanjaan dana pinjaman itu terkait dengan Jepang. Konsultannya, kontraktornya, pemasoknya dan sebagainya, harus dari Jepang. Biasanya tarif mereka jauh lebih tinggi dibanding tarif pasar. Artinya, kucuran itu kembali lagi ke mereka. Sedangkan yang kita dapatkan, adalah utang. Semakin lama beban semakin berat, karena ada bunganya.

Namun pada obligasi, begitu terbit dan dibayar investor, dana mengalir ke pemerintah. Pemerintah bisa secara bebas tunjuk konsultan, kontraktor, pemasok maupun apa saja yang terkait pembelanjaan yang dianggarkan. Tentu, penerbitan obligasi negara merupakan jalan keluar yang baik dari jeratan utang seperti kepada IMF. Namun, penerbitan obligasi itu tetap akan menjadi gali lobang tutup lobang, jika bangsa ini tetap korup. Biar pun pemerintah bisa bebas menentukan pembelanjaannya, jika seluruh aparat bermental korup, maka hasilnya adalah beban utang yang berat.

Disamping itu yang harus diperhatikan bahwa dengan bunga SBI dan obligasi Negara yang sangat tinggi akan membuat bank-bank nasional menjadi malas untuk melakukan deversifikasi usaha sebab dengan selisih yang besar antara bunga bank dan bungan SBI/ obligasi Negara untuk mendapatkan laba bank cukup berusaha untuk menarik dana penabung sebanyak-banyaknya selanjutnya dibelikan obligasi Negara. Selain itu bahwa Penerbitan obligasi Pemerintah ini akan menambah beban utang pemerintah. Karena misalnya penerbitan obligasi internasional dalam bentuk mata uang dollar Amerika, maka beban utang luar negeri pemerintah akan membengkak. Hingga Februari 2003 jumlah utang luar negeri pemerintah Indonesia mencapai US $ 74,2 milyar – sekitar Rp 630,7 trilyun. Sementara itu nilai nominal (nominal amount) obligasi dalam negeri pemerintah yang sudah diterbitkan untuk program restrukturisasi perbankan (BLBI dan program rekapitalisasi perbankan) mencapai Rp 645,78 trilyun. Jadi total utang pokok pemerintah adalah Rp 1.276, 48 trilyun.

IV. ALTERNATIF KEBIJAKAN

  • Untuk mengatasi ketergantungan terhadap utang luar negeri pemerintah harus mencari alternatif lain dalam APBN dengan memanfaatkan potensi yang ada di dalam negeri.
  • Untuk mengatasi utang dalam negeri pemerintah dari bunga obligasi Negara yang sangat tinggi sebaiknya agar pemerintah membuat kebijakan yang menyeluruh untuk menurunkan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), menggerakkan sektor riil, dan menciptakan lapangan kerja.
  • Birokrasi pemerintah Indonesia sudah sangat besar sehingga menjadi sangat boros dam merongrong pembiayaan negara sehingga sudah waktunya untuk dilakukannya pemangkasan birokrasi dengan dengan kebijakan membuat pertumbuhan birokrasi menjadi zero growth.
  • Memberatas korupsi melalui upaya penegakkan hukum, karena ternyata penyebab terbesar terjadeinya pemborosan dalam anggaran Negara adalah karena tingkat korupsi yang sangat tinggi. berdasrkan Survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2002, Indonesia tercatat sebagai Negara terkorup di Asia.. Sementara indeks korupsi dari Transparancy Internasional (TI) menempatkan Indonesia diposisi ke 7 terkorup dari 102 negara.
V. REKOMENDASI KEBIJAKAN

  • Agar pemerintah sedapat mungkin mengurangi ketergantungan APBN dari pinjaman luar negeri.
  • Agar Pemerintah segera Menurunkan bunga sertifikat Bank Indonesia danv mendorong bank-bank nasional agar lebih intensif mengucur kredit sehingga sektor riil dapat bergerak yang pada giliran akan menciptakan lapangan kerja dan memperbaiki perekonomian nasinal secara keseluruhan.
  • Agar Pemerintah lebih mengefisienkan birokrasai Pemerintah dengan jalan Merestrukturisasi birokrasi pemerintah yang sudah sangat gemuk sehingga dirasa telah memberatkan anggran pemerintah.




DAFTAR PUSTAKA]
Djohermansya, Djohan,1997, Fenomena Pemerintahan, PT. Yasir Watampone, Jakarta
Dunn William N. terj. Muhajir Darwin,1998, Analisa Kebijakan Publik, PT. Hanindita Graha Widya, Yogyakarta
Rahardjo, Dawam, 2001, Independensi Bank Indonesia dalam Kemelut Politik, PT.Pustaka Cidesindo, Jakarta
Steiner, George A., 1997, Kebijakan dan Strategi Maanajemen, Penerbit Erlangga, Jakarta
Swasono, Sri Edi, 1997, Pembangunan Tanpa Utang: Utang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia, Republika, Jakarta
Wibowo, Drajat, 2004, Optimalisasi Manajemen Itang Pemerintah, INDEF, Jakarta
http://www.republika/. Or.id
WWW.INDOREGULATION.COM
D O K U M E N
1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Ke-empat
2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara
3) Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2003 Tentang Pengendalian Julah Kumulatif Devisit APBN Dan APBD serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemda.

STRATEGI DAN UPAYA MENJAGA KEUTUHAN BANGSA

I. Latar Belakang

Mencermati pidato Presiden RI dalam rangka memperingati HUT Proklamasi RI Ke-58 tentang keadaan bangsa dewasa ini yang seakan-akan seluruh warga dihimbau untuk kembali mempertanyakan jatidiri kita sebagai bangsa Indondesia serta arah kemana tujuan bangsa kita dimasa depan. Dalam usianya yang saat ini telah mencapai hampi 59 tahun, dengan penuh keprihatinan kita mengahadapi kenyataan bahwa berbagai kesepakatan bangsa yang dicetuskan oleh “founding fathers” dengan melahirkan Indonesia sebagai satu bangsa dan satu Negara, sedang menghadapi berbagai tantangan berat yang harus mampu kita kelola dengan baik agar agar jiwa kebangsaan dan NKRI tidak lenyap. Kenyataan empiric telah memperlihatkan bahwa berbagai gejolak yang terjadi di daerah apabila tidak di tangani secara cerdas akhirnya akan bermuara pada satu titik yaitu pemisahan diri dari NKRI. Contoh kasus telah terjadi dengan pemisahan diri Timor-Timur dengan Fretelin-nya yang perilakunya kemudian coba dikuti oleh Papua dengan OPM-nya, Maluku dengan RMS-nya dan Aceh dengan GAM-nya. Tantangan ini apabila tidak ditangani dengan tegas dan cerdas bukan tidak mungkin akan menjalar keberbagai daerah lain di Indonesia. Untuk dapat menjawab tantangan tersebut dan dapat memberi penanganan yang tepat dan komprehensif, tentunya dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman yang tepat dan komprehansif pula tentang akar dari semua permasalahan yang terjadi sehingga mengapa kemudian daerah-daerah bergejolak tersebut terdorong melakukan gerkan kearah des-integrasi bangsa.
Integrasi bangsa adalah landasan bagi tegaknya sebuah negara modern. Keutuhan wilayah negara amat ditentukan oleh kemampuan para pemimpin dan masyarakat warga negara untuk memelihara komitmen kebersamaan sebagai suatu bangsa. Karena itu, secara teoretik dipahami bahwa ancaman paling serius terhadap integrasi bangsa adalah disharmoni sosial, sedangkan ancaman paling nyata terhadap eksistensi wilayah negara adalah gerakan separatisme. Kedua ancaman itu sering kali bercampur baur. Karena, disharmoni sosial yang sudah meluas menjadi konflik yang mengambil bentuk kekerasan akan serta merta menarik garis-garis demarkasi teritorial.
Penampakan garis-garis itu akan cepat menjadi jelas bila pihak-pihak yang terlibat konflik merupakan representasi dari komunitas-komunitas besar yang mendominasi wilayah-wilayah tertentu. Bila ini terjadi, maka proses disintegrasi wilayah yang dimulai oleh disintegrasi sosial akan secara simultan membawa bangsa itu ke jurang disintegrasi nasional.
Tesis ini adalah sebuah penyederhanaan. Dalam kenyataan, meski tesis ini selalu hadir, sebuah skenario disintegrasi bangsa selalu berlangsung melalui interaksi berbagai faktor yang lebih kompleks. Proses itu dimulai dengan lahirnya berbagai faktor penyebab dari terjadinya disharmoni sosial, bagaimana suasana disharmoni itu bergerak ke arah konflik kekerasan, faktor apa yang menghambat upaya peredaan konflik, dan faktor apa yang mempercepat proses disintegrasi itu.
Dalam konteks ini perlu dipahami, bangsa dan negara hanyalah sebuah konsensus. Bila konsensus tidak lagi diakui, maka eksistensi bangsa dengan sendirinya hilang, dan bersamaan dengan itu negara pun akan rontok. Manusia dan masyarakat yang sebelumnya pernah sepakat menjadi satu bangsa mungkin masih tetap eksis, tetapi mereka tidak lagi terikat dalam ikatan kebangsaan yang sama. Demikian pula halnya dengan territori negara yang secara fisik tetap ada, namun garis-garis demarkasi yang sebelumnya pernah diakui bersama sudah berubah.
Dari berbagai fenomena diatas maka, memang perlu ada perbaikan-perbaikan yang dilakukan dalam kebijakan pemerintah untuk mengatasi masalah di-integrasi bangsa ini. Kebijakan yang diambil seharusnya memperhatikan akar dari masalah dis-integrasi bangasa ini dan jangan hanya melihat akibat dari akar masalah tersebut.
Arti Analisis Kebijakan itu sendiri menurut E.S Quade dalam William N. Dunn (2000; 95) adalah :
Suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberilandasan bagi para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan keputusan..... Dalam analisis kebijakan kata analisis digunakan dalam pengertian paling umum; termasuk penggunaan intuisi dan pengungkapan pendapat dan mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dengan memilah-milahkannya kedalam sejumlah komponen tetapi juga perancangan dan sintesis alternartif-alternatif baru. Kegiatan-kegiatan yang tercakup dapat direntangkan mulai dari penelitian untuk menjelaskan atau memberikan pandangan-pandangan terhadap isu-isu atau masalah-masalah yang terantisipasi sampai mengevaluasi suatu program yang lengkap.
Dengan melihat bahwa kebijakan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah dalam mengatasi persoalan di-ntegrasi bangsa saat ini, maka fungsi analisa yang dijalankan adalah Policy Action. Adapun fungsi-fungsi dalam policy action meliputi : Actuating, Coordinating, motivating, Budgeting, Human relation, dan Decition making.
Untuk mendapatkan informasi dalam tulisan, kami menggunakan 3 (tiga) pendekatan yaitu empiris, evaluatif dan normatif. Empiris adalah menjelaskan sebab akibat dari kebijaksanaan publik ; evaluatif adalah berkenaan dengan penentuan nilai dari beberapa kebijaksanaan ; dan normatif adalah pengusulan arah dan tindakan yang akan memecahkan problem-problem kebijaksanaan. (William N. Dunn, 47 : 1998). Selain pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini, kami juga mencoba menggunakan prosedur-prosedur dalam analisa kebijakan yang dimulai dari pemantauan, evaluasi, perumusan masalah, peramalan dan rekomendasi, sehingga memungkinkan kita dapat menghasilkan informasi mengenai kemungkinan bahwa arah tindakan dimasa yang akan diambil yang datang menimbulkan akibat-akibat yang bernilai.


II. Lingkup Dan Ragam Masalah


Karena luasnya permasalahan dalam analisis kebijakan yang harus dikaji dan keterbatasan waktu, maka dalam tulisan ini kami tidak akan menganalisis semua kebijakan pemerintah dalam mempertahankan integritas teritorial Indonesia tapi hanya pembatasi diri pada permasalahan yang menurut kami patut untuk mendapatkan renungan. Dari kajian kami terhadap berbagai kasus disintegrasi bangsa dan bubarnya sebuah negara, dapat ditemukan lima faktor utama yang secara gradual bisa menjadi penyebab utama proses itu.
· Krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama
· Krisis politik berupa perpecahan elite di tingkat nasional
· Krisis sosial yang dimulai dari terjadinya disharmoni dan bermuara pada meletusnya konflik kekerasan di antara kelompok-kelompok masyarakat
· Intervensi internasional yang bertujuan memecah-belah
· Demoralisasi aparat negara dalam bentuk pupusnya keyakinan mereka atas makna pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai peerejkat persatuan dan kesatuan bangsa.

III. Pernyataan Masalah

Pertama, krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama. Krisis di sektor ini selalu merupakan faktor amat signifikan dalam mengawali lahirnya krisis yang lain (politik-pemerintahan, hukum, dan sosial). Secara garis besar, krisis ekonomi ditandai merosotnya daya beli masyarakat akibat inflasi dan terpuruknya nilai tukar, turunnya kemampuan produksi akibat naiknya biaya modal, dan terhambatnya kegiatan perdagangan dan jasa akibat rendahnya daya saing. Muara dari semua ini adalah tutupnya berbagai sektor usaha dan membesarnya jumlah penganggur dalam masyarakat.
Dalam keadaan seperti ini, harapan satu-satunya adalah investasi melalui proyek-proyek pemerintah, misalnya, untuk pembangunan infrastruktur transportasi secara besar-besaran sebagai upaya menampung tenaga kerja dan memutar roda ekonomi. Namun, ini memerlukan syarat adanya kepemimpinan nasional yang kreatif dan terpercaya karena integritasnya, tersedianya cadangan dana pemerintah yang cukup, serta bantuan teknis melalui komitmen internasional. Tanpa terobosan investasi baru, krisis ekonomi akan berlanjut. Biasanya, krisis ekonomi yang berkepanjangan dan tak teratasi akan menciptakan ketegangan-ketegangan baru dalam hubungan antar-elite. Mereka akan berlomba untuk saling menyalahkan dan mencari kambing hitam. Pada saat yang sama, krisis ekonomi akan memperlemah kemampuan negara untuk menutupi berbagai ongkos pengelolaan kekuasaan dan pemeliharaan berbagai fasilitas umum.
Akibatnya, akan terbentuk rasa tidak puas yang luas, baik dari mereka yang menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri (pegawai negeri dan tentara/ polisi) maupun warga masyarakat. Bila situasi ini tidak berhasil diatasi oleh mekanisme sistem politik yang berlaku, maka krisis politik akan sulit dihindari.
Kedua, krisis politik berupa perpecahan elite di tingkat nasional, sehingga menyulitkan lahirnya kebijakan yang utuh dalam mengatasi krisis ekonomi. Krisis politik juga bisa dilihat dari absennya kepemimpinan politik yang mampu membangun solidaritas sosial untuk secara solid menghadapi krisis ekonomi. Dalam situasi di mana perpecahan elite pusat makin meluas dan kepemimpinan nasional makin tidak efektif, maka kemampuan pemerintah dalam memberi pelayanan publik akan makin merosot. Akibatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah akan semakin menipis.
Keadaan ini biasa menjadi pemicu lahirnya gerakan-gerakan massal anti-pemerintah yang terorganisasi. Bila gerakan-gerakan itu menguat dan pada saat sama lahir gerakan massa tandingan yang bersifat kontra terhadap satu sama lain-apalagi jika terjadi bentrokan fisik yang intensif di antara mereka, atau antara massa dengan aparat keamanan negara-maka perpecahan di antara top elite di pusat kekuasaan makin tak terhindarkan. Jurang komunikasi akan makin lebar. Dalam situasi di mana kebencian dan saling curiga antarkelompok sudah amat mengental, tidak ada satu pihak pun yang memiliki legitimasi untuk memprakarsai upaya rekonsiliasi.
Akibatnya, jalan menuju rontoknya bangunan kekuasaan di tingkat pusat akan semakin lempang. Perkembangan ini secara otomatik akan mendorong penguatan potensi gerakan-gerakan separatisme. Gerakan ini bisa menguat dari wilayah yang sudah sejak lama menyimpan bibit-bibit mikro nasionalisme, bisa juga dari wilayah yang sama sekali tidak memiliki bibit itu, namun terdorong oleh kalkulasi logis mereka ketika berhadapan dengan situasi yang bersifat fait a compli. Yang terakhir ini merupakan kesadaran yang lahir secara kondisional dari para pemimpin di wilayah-wilayah yang relatif jauh dari pusat kekuasaan berdasarkan asumsi: daripada mengikuti pemerintahan yang sudah rontok di pusat, lebih baik kami memisahkan diri.
Ketiga, krisis sosial dimulai dari terjadinya disharmoni dan bermuara pada meletusnya konflik kekerasan di antara kelompok-kelompok masyarakat (suku, agama, ras). Jadi, di kala krisis ekonomi sudah semakin parah, yang akibatnya antara lain terlihat melalui rontoknya berbagai sektor usaha, naiknya jumlah penganggur, dan meroketnya harga berbagai produk, maka kriminalitas pun akan meningkat dan berbagai ketegangan sosial menjadi sulit dihindari. Dalam situasi seperti ini, hukum akan terancam supremasinya dan kohensi sosial terancam robek. Suasana kebersamaan akan pupus dan rasa saling percaya akan terus menipis. Sebagai gantinya, eksklusivisme, entah berdasar agama, ras, suku, atau kelas yang dibumbui sikap saling curiga yang terus menyebar dalam hubungan antarkelompok. Bila berbagai ketegangan ini tidak segera diatasi, maka eskalasi konflik menjadi tak terhindarkan. Disharmoni sosial pun dengan mudah akan menyebar. Modal sosial berupa suasana saling percaya, yang merupakan landasan bagi eksistensi sebuah masyarakat bangsa, perlahan-lahan akan hancur.
Keempat, intervensi internasional yang bertujuan memecah-belah, seraya mengambil keuntungan dari perpecahan itu melalui dominasi pengaruhnya terhadap kebijakan politik dan ekonomi negara-negara baru pascadisintegrasi. Intervensi itu bergerak dari yang paling lunak, berupa pemberian advis yang membingungkan kepada pemerintah nasional yang pada dasarnya sudah kehilangan arah; ke bentuk yang agak kenyal, berupa provokasi terhadap kelompok-kelompok yang berkonflik; hingga yang paling keras, berupa suplai kebutuhan material untuk memperkuat kelompok-kelompok yang berkonflik itu. Proses intervensi terakhir ini amat mungkin terjadi saat pemerintah nasional sudah benar-benar tak berdaya mengontrol lalu lintas informasi, komunikasi, mobilitas sosial, serta transportasi darat, laut, dan udara. Bila ini terjadi, maka jalan menuju disintegrasi semakin jelas, hanya menunggu waktu sebelum menjadi kenyataan.
Kelima, demoralisasi birokrasi sipil, tentara dan polisi dalam bentuk pupusnya keyakinan mereka atas makna pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat. Demoralisasi itu, pada kadar yang rendah dipengaruhi oleh merosotnya nilai gaji yang mereka terima akibat krisis ekonomi.
Kemerosotan itu umumnya terjadi akibat inflasi. Tetapi dalam kasus tertentu hal itu diakibatkan oleh kebijakan pemerintah untuk menurunkan gaji mereka atau membayar kurang dari 100 persen dan sisanya menjadi utang pemerintah. Pada tingkat tinggi, demoralisasi itu berupa hilangnya kepercayaan mereka terhadap nilai pengabdian setelah mengalami tekanan-tekanan psikologis yang berat dalam waktu lama akibat krisis politik yang akut. Dalam situasi seperti ini, tentara dan polisi yang seyogianya mencegah konflik sosial malah bisa tergiring untuk mengambil bagian dalam konflik itu dengan berbagai alasan. Secara teoretik, ketika negara tidak lagi memberi harga yang pantas terhadap pengorbanan tentara dan polisi dalam menjaga integrasi bangsa, maka tempat paling aman bagi segmen-segmen tertentu dari mereka adalah kelompok-kelompok sosial di mana mereka bisa mengidentikkan dirinya. Karena itu, demoralisasi tentara dan polisi amat rawan terhadap perluasan dan intensitas konflik sosial yang sedang terjadi. Keterlibatan yang luas dari tentara dan polisi dalam konflik sosial akan mengkonversi konflik itu sendiri menjadi perang saudara yang justru merupakan episode terakhir dari proses disintegrasi bangsa dan keruntuhan sebuah negara.

IV.Alternatif Kebijakan

Hampir semua ahli ekonomi yang melihat fenomena krisis ekonomi di Indonesia sependapat bahwa akar dari krisis ekonomi yang berkepenjangan di Indonesia adalah karena disebabkan oleh distribusi penguasaan asset-aset perekonomian yang tidak merata. Oleh karena itu kebijakan ekonomi Indonesia yang selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru dan sampai saat ini masih bertumpu pada penguasaan modal oleh segelintir konglomerat harus segera mulai diarahkan pada kepada ekonomi yang yang bercorak kerakyatan dengan koperasi sebagai lokomotifnya sesuai amanat UUD 1945.
Perpecahan yang terjadi antara elit ditingkat nasional telah merembes sampai ketingkat paling rendah dari struktur negara yang pada gilirannya membuat bargaining potition Negara menjadi semakin lemah dalam menghadapi berbagai tuntutan separatisme karena perbedaan konsep antar elit tersebut tidak dapat diformulasikan menjadi suatu kebijakan bersama yang saling memberi kekuatan untuk kepentingan bersama. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan untuk dapat membuat system yang saling memberi kekuatan bagi elit nasional dalam menghadapi permasalahan bersama dengan semangat chek and balances.
Krisis sosial dan disharmoni antara warga masyarakat dalam suatu pada umumnya dimulai dari adanya rasa ketidak adilan sosial diantara warga masyarakat dan rasa tidak aman untuk hidup bersasma sebagai satu masyarakat. Dalam masyarakat dengan kondisi seperti ini akan sangat rentan terhadap provokasi dari pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang menginginkan terjadinya dis-integrasi bangsa. Untuk itu harus dapat dirumuskan suatu kebijakan yang dapat menjamin rasa aman dan rasa keadilan warga masyarakat yang tidak lain adalah penegakkan hukum secara adil dan jaminan bagi warga Negara untuk memiliki kedudukan yang sama didepan hukum.
Dalam era globalisasi seperti sekarang ini saling ketergantungan antar bangsa dan antar Negara adalah sesuatu yang lumrah terjadi. Yang menjadi masalah adalah apabila ketergantungan tersebut menjadi tidak seimbang pihak yang kuat akan terdorong untuk mengendalikan pihak yang tergantung padanya untuk keuntungannya sendiri tanpa peduli nasib pihak yang tergantung padanya tersebut. Untuk bagi bangsa Indonesia yang ingin tetap berdiri tegak dalam pergaulan global dunia harus dapat memformulasikan suatu kebijakan yang yang dapat menjamin ketahanan nasional terhadap ketergantungan dari pihak luar secara berlebihan.
Aparatur Negara baik sipil, polisi maupun tentara mempunyai kedudukan yang sangat dominan bagi kelangsungan hidup suatu Negara. Dengan aparatur Negara yang baik maka kalangsungan hidup Negara dapat dijaga dengan baik. Untuk itu maka dalam kebijakan Negara harus dapat menjamin aparatur Negara dapat hidup secara cukup sehingga segala daya dan upayanya hanya ditujukan bagi kelangsungan Negara.

V. Rekomendasi Kebijakan

Untuk itu maka strategi dan upaya yang kami rekomendasikan dalam menjaga keutuhan bangsa dan mencegak disintegrasi nasional adalah sebagai berikut ;
Dalam kebijakan Negara harus dapat memberikan keadilan dan pemerataan ekonomi bagi seluruh warganya. Dalam kasus Indonesia harus ada kebijakan untuk merestrukturisasi penguasaan asset nasional yang tidak seimbang dengan memberi peluang bagi masyarakat luas untuk mempunyai akses terhadap modal dari perbankan.
Dalam kebijakan Negara harus dapat mengatur suatu system politik yang mengakomodir adanya perbedaan dengan tetap mengedepankan persatuan dan kesatuan. Dalam kasus Indonesia system rekruitmen elit nasional baik eksekutif, legislative maupun yudikatif sedapat mungkin harus dilakukan secara transparan serta susunan dan kedudukan antara lembaga-lembaga Negara harus dapat mengatur dengan jelas batas-batas kewenangan masing-masing lembaga tidak ada ketidak jelasan tumpang tindih kewenangan antar lembaga Negara.
Dalam kebijakan Negara harus mengutamakan penegakan hukum dengan keharusan menempatkan setiap warga Negara mempunyai kedudukan yang sam didepan hukum dan memperoleh kepastian hukum secara adil.
Dalam kebijakan negara harus dapat mengatur dan menjamin pertahanan dan keamanan Negara dalam segala segi baik dari struktur maupun infrastrukturnya.
Dalam kebijakan Negara harus dapat menjamin pemberian revenue bagi aparatur negara karena hanya apabila terpenuhi kebutuhanya secara cukup aparatur Negara dapat bekerja secar optimal dalam menjaga kelangsngan hidup Negara.


Daftar Pustaka
Suradinata Ermaya, 2003, Fenomena Disintegrasi Bangsa, Seminar nasional Dalam rangka PPM Angk. XI dan Dies Natalis XIII STPDN
Dunn William N. terj. Muhajir Darwin,1998, Analisa Kebijakan Publik, PT. Hanindita Graha Widya, Yogyakarta
Gautama, Chandra dan Marbun, B.N., 2000, Hak Asasi Manusia Penyelenggaraan Negara Yang Baik dan Masyarakat Warga, Komnas HAM
Permana, Setia,2003, Mempertanyakan Kembali Pluralisme Indonesia, Pikiran Rakyat 7 April 2003
Rasyid, Ryas,1998, Nasionalisme dan Demokrasi Indonesia Menghadapi Tantangan Globalisasi, PT. Yasrif Watampone, Jakarta
Rasyid,Madjid, Mahendra, 1998, Pemerintahan yang Amanah, PT.BINA RENA PARIWARA, Jakarta
Rasyid, Ryas, 2001, Faktor-faktor Penyebab Disintegrasi Bangsa dan Bubarnya Suatu Negara,Kompas 27 September 2001.
Suradinata, Ermaya, 2003, Fenomena Disintegrasi Bangsa, Seminar nasional Dalam rangka PPM Angk. XI dan Dies Natalis XIII STPDN