Thursday 12 June 2008

STRATEGI DAN UPAYA MENJAGA KEUTUHAN BANGSA

I. Latar Belakang

Mencermati pidato Presiden RI dalam rangka memperingati HUT Proklamasi RI Ke-58 tentang keadaan bangsa dewasa ini yang seakan-akan seluruh warga dihimbau untuk kembali mempertanyakan jatidiri kita sebagai bangsa Indondesia serta arah kemana tujuan bangsa kita dimasa depan. Dalam usianya yang saat ini telah mencapai hampi 59 tahun, dengan penuh keprihatinan kita mengahadapi kenyataan bahwa berbagai kesepakatan bangsa yang dicetuskan oleh “founding fathers” dengan melahirkan Indonesia sebagai satu bangsa dan satu Negara, sedang menghadapi berbagai tantangan berat yang harus mampu kita kelola dengan baik agar agar jiwa kebangsaan dan NKRI tidak lenyap. Kenyataan empiric telah memperlihatkan bahwa berbagai gejolak yang terjadi di daerah apabila tidak di tangani secara cerdas akhirnya akan bermuara pada satu titik yaitu pemisahan diri dari NKRI. Contoh kasus telah terjadi dengan pemisahan diri Timor-Timur dengan Fretelin-nya yang perilakunya kemudian coba dikuti oleh Papua dengan OPM-nya, Maluku dengan RMS-nya dan Aceh dengan GAM-nya. Tantangan ini apabila tidak ditangani dengan tegas dan cerdas bukan tidak mungkin akan menjalar keberbagai daerah lain di Indonesia. Untuk dapat menjawab tantangan tersebut dan dapat memberi penanganan yang tepat dan komprehensif, tentunya dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman yang tepat dan komprehansif pula tentang akar dari semua permasalahan yang terjadi sehingga mengapa kemudian daerah-daerah bergejolak tersebut terdorong melakukan gerkan kearah des-integrasi bangsa.
Integrasi bangsa adalah landasan bagi tegaknya sebuah negara modern. Keutuhan wilayah negara amat ditentukan oleh kemampuan para pemimpin dan masyarakat warga negara untuk memelihara komitmen kebersamaan sebagai suatu bangsa. Karena itu, secara teoretik dipahami bahwa ancaman paling serius terhadap integrasi bangsa adalah disharmoni sosial, sedangkan ancaman paling nyata terhadap eksistensi wilayah negara adalah gerakan separatisme. Kedua ancaman itu sering kali bercampur baur. Karena, disharmoni sosial yang sudah meluas menjadi konflik yang mengambil bentuk kekerasan akan serta merta menarik garis-garis demarkasi teritorial.
Penampakan garis-garis itu akan cepat menjadi jelas bila pihak-pihak yang terlibat konflik merupakan representasi dari komunitas-komunitas besar yang mendominasi wilayah-wilayah tertentu. Bila ini terjadi, maka proses disintegrasi wilayah yang dimulai oleh disintegrasi sosial akan secara simultan membawa bangsa itu ke jurang disintegrasi nasional.
Tesis ini adalah sebuah penyederhanaan. Dalam kenyataan, meski tesis ini selalu hadir, sebuah skenario disintegrasi bangsa selalu berlangsung melalui interaksi berbagai faktor yang lebih kompleks. Proses itu dimulai dengan lahirnya berbagai faktor penyebab dari terjadinya disharmoni sosial, bagaimana suasana disharmoni itu bergerak ke arah konflik kekerasan, faktor apa yang menghambat upaya peredaan konflik, dan faktor apa yang mempercepat proses disintegrasi itu.
Dalam konteks ini perlu dipahami, bangsa dan negara hanyalah sebuah konsensus. Bila konsensus tidak lagi diakui, maka eksistensi bangsa dengan sendirinya hilang, dan bersamaan dengan itu negara pun akan rontok. Manusia dan masyarakat yang sebelumnya pernah sepakat menjadi satu bangsa mungkin masih tetap eksis, tetapi mereka tidak lagi terikat dalam ikatan kebangsaan yang sama. Demikian pula halnya dengan territori negara yang secara fisik tetap ada, namun garis-garis demarkasi yang sebelumnya pernah diakui bersama sudah berubah.
Dari berbagai fenomena diatas maka, memang perlu ada perbaikan-perbaikan yang dilakukan dalam kebijakan pemerintah untuk mengatasi masalah di-integrasi bangsa ini. Kebijakan yang diambil seharusnya memperhatikan akar dari masalah dis-integrasi bangasa ini dan jangan hanya melihat akibat dari akar masalah tersebut.
Arti Analisis Kebijakan itu sendiri menurut E.S Quade dalam William N. Dunn (2000; 95) adalah :
Suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberilandasan bagi para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan keputusan..... Dalam analisis kebijakan kata analisis digunakan dalam pengertian paling umum; termasuk penggunaan intuisi dan pengungkapan pendapat dan mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dengan memilah-milahkannya kedalam sejumlah komponen tetapi juga perancangan dan sintesis alternartif-alternatif baru. Kegiatan-kegiatan yang tercakup dapat direntangkan mulai dari penelitian untuk menjelaskan atau memberikan pandangan-pandangan terhadap isu-isu atau masalah-masalah yang terantisipasi sampai mengevaluasi suatu program yang lengkap.
Dengan melihat bahwa kebijakan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah dalam mengatasi persoalan di-ntegrasi bangsa saat ini, maka fungsi analisa yang dijalankan adalah Policy Action. Adapun fungsi-fungsi dalam policy action meliputi : Actuating, Coordinating, motivating, Budgeting, Human relation, dan Decition making.
Untuk mendapatkan informasi dalam tulisan, kami menggunakan 3 (tiga) pendekatan yaitu empiris, evaluatif dan normatif. Empiris adalah menjelaskan sebab akibat dari kebijaksanaan publik ; evaluatif adalah berkenaan dengan penentuan nilai dari beberapa kebijaksanaan ; dan normatif adalah pengusulan arah dan tindakan yang akan memecahkan problem-problem kebijaksanaan. (William N. Dunn, 47 : 1998). Selain pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini, kami juga mencoba menggunakan prosedur-prosedur dalam analisa kebijakan yang dimulai dari pemantauan, evaluasi, perumusan masalah, peramalan dan rekomendasi, sehingga memungkinkan kita dapat menghasilkan informasi mengenai kemungkinan bahwa arah tindakan dimasa yang akan diambil yang datang menimbulkan akibat-akibat yang bernilai.


II. Lingkup Dan Ragam Masalah


Karena luasnya permasalahan dalam analisis kebijakan yang harus dikaji dan keterbatasan waktu, maka dalam tulisan ini kami tidak akan menganalisis semua kebijakan pemerintah dalam mempertahankan integritas teritorial Indonesia tapi hanya pembatasi diri pada permasalahan yang menurut kami patut untuk mendapatkan renungan. Dari kajian kami terhadap berbagai kasus disintegrasi bangsa dan bubarnya sebuah negara, dapat ditemukan lima faktor utama yang secara gradual bisa menjadi penyebab utama proses itu.
· Krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama
· Krisis politik berupa perpecahan elite di tingkat nasional
· Krisis sosial yang dimulai dari terjadinya disharmoni dan bermuara pada meletusnya konflik kekerasan di antara kelompok-kelompok masyarakat
· Intervensi internasional yang bertujuan memecah-belah
· Demoralisasi aparat negara dalam bentuk pupusnya keyakinan mereka atas makna pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai peerejkat persatuan dan kesatuan bangsa.

III. Pernyataan Masalah

Pertama, krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama. Krisis di sektor ini selalu merupakan faktor amat signifikan dalam mengawali lahirnya krisis yang lain (politik-pemerintahan, hukum, dan sosial). Secara garis besar, krisis ekonomi ditandai merosotnya daya beli masyarakat akibat inflasi dan terpuruknya nilai tukar, turunnya kemampuan produksi akibat naiknya biaya modal, dan terhambatnya kegiatan perdagangan dan jasa akibat rendahnya daya saing. Muara dari semua ini adalah tutupnya berbagai sektor usaha dan membesarnya jumlah penganggur dalam masyarakat.
Dalam keadaan seperti ini, harapan satu-satunya adalah investasi melalui proyek-proyek pemerintah, misalnya, untuk pembangunan infrastruktur transportasi secara besar-besaran sebagai upaya menampung tenaga kerja dan memutar roda ekonomi. Namun, ini memerlukan syarat adanya kepemimpinan nasional yang kreatif dan terpercaya karena integritasnya, tersedianya cadangan dana pemerintah yang cukup, serta bantuan teknis melalui komitmen internasional. Tanpa terobosan investasi baru, krisis ekonomi akan berlanjut. Biasanya, krisis ekonomi yang berkepanjangan dan tak teratasi akan menciptakan ketegangan-ketegangan baru dalam hubungan antar-elite. Mereka akan berlomba untuk saling menyalahkan dan mencari kambing hitam. Pada saat yang sama, krisis ekonomi akan memperlemah kemampuan negara untuk menutupi berbagai ongkos pengelolaan kekuasaan dan pemeliharaan berbagai fasilitas umum.
Akibatnya, akan terbentuk rasa tidak puas yang luas, baik dari mereka yang menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri (pegawai negeri dan tentara/ polisi) maupun warga masyarakat. Bila situasi ini tidak berhasil diatasi oleh mekanisme sistem politik yang berlaku, maka krisis politik akan sulit dihindari.
Kedua, krisis politik berupa perpecahan elite di tingkat nasional, sehingga menyulitkan lahirnya kebijakan yang utuh dalam mengatasi krisis ekonomi. Krisis politik juga bisa dilihat dari absennya kepemimpinan politik yang mampu membangun solidaritas sosial untuk secara solid menghadapi krisis ekonomi. Dalam situasi di mana perpecahan elite pusat makin meluas dan kepemimpinan nasional makin tidak efektif, maka kemampuan pemerintah dalam memberi pelayanan publik akan makin merosot. Akibatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah akan semakin menipis.
Keadaan ini biasa menjadi pemicu lahirnya gerakan-gerakan massal anti-pemerintah yang terorganisasi. Bila gerakan-gerakan itu menguat dan pada saat sama lahir gerakan massa tandingan yang bersifat kontra terhadap satu sama lain-apalagi jika terjadi bentrokan fisik yang intensif di antara mereka, atau antara massa dengan aparat keamanan negara-maka perpecahan di antara top elite di pusat kekuasaan makin tak terhindarkan. Jurang komunikasi akan makin lebar. Dalam situasi di mana kebencian dan saling curiga antarkelompok sudah amat mengental, tidak ada satu pihak pun yang memiliki legitimasi untuk memprakarsai upaya rekonsiliasi.
Akibatnya, jalan menuju rontoknya bangunan kekuasaan di tingkat pusat akan semakin lempang. Perkembangan ini secara otomatik akan mendorong penguatan potensi gerakan-gerakan separatisme. Gerakan ini bisa menguat dari wilayah yang sudah sejak lama menyimpan bibit-bibit mikro nasionalisme, bisa juga dari wilayah yang sama sekali tidak memiliki bibit itu, namun terdorong oleh kalkulasi logis mereka ketika berhadapan dengan situasi yang bersifat fait a compli. Yang terakhir ini merupakan kesadaran yang lahir secara kondisional dari para pemimpin di wilayah-wilayah yang relatif jauh dari pusat kekuasaan berdasarkan asumsi: daripada mengikuti pemerintahan yang sudah rontok di pusat, lebih baik kami memisahkan diri.
Ketiga, krisis sosial dimulai dari terjadinya disharmoni dan bermuara pada meletusnya konflik kekerasan di antara kelompok-kelompok masyarakat (suku, agama, ras). Jadi, di kala krisis ekonomi sudah semakin parah, yang akibatnya antara lain terlihat melalui rontoknya berbagai sektor usaha, naiknya jumlah penganggur, dan meroketnya harga berbagai produk, maka kriminalitas pun akan meningkat dan berbagai ketegangan sosial menjadi sulit dihindari. Dalam situasi seperti ini, hukum akan terancam supremasinya dan kohensi sosial terancam robek. Suasana kebersamaan akan pupus dan rasa saling percaya akan terus menipis. Sebagai gantinya, eksklusivisme, entah berdasar agama, ras, suku, atau kelas yang dibumbui sikap saling curiga yang terus menyebar dalam hubungan antarkelompok. Bila berbagai ketegangan ini tidak segera diatasi, maka eskalasi konflik menjadi tak terhindarkan. Disharmoni sosial pun dengan mudah akan menyebar. Modal sosial berupa suasana saling percaya, yang merupakan landasan bagi eksistensi sebuah masyarakat bangsa, perlahan-lahan akan hancur.
Keempat, intervensi internasional yang bertujuan memecah-belah, seraya mengambil keuntungan dari perpecahan itu melalui dominasi pengaruhnya terhadap kebijakan politik dan ekonomi negara-negara baru pascadisintegrasi. Intervensi itu bergerak dari yang paling lunak, berupa pemberian advis yang membingungkan kepada pemerintah nasional yang pada dasarnya sudah kehilangan arah; ke bentuk yang agak kenyal, berupa provokasi terhadap kelompok-kelompok yang berkonflik; hingga yang paling keras, berupa suplai kebutuhan material untuk memperkuat kelompok-kelompok yang berkonflik itu. Proses intervensi terakhir ini amat mungkin terjadi saat pemerintah nasional sudah benar-benar tak berdaya mengontrol lalu lintas informasi, komunikasi, mobilitas sosial, serta transportasi darat, laut, dan udara. Bila ini terjadi, maka jalan menuju disintegrasi semakin jelas, hanya menunggu waktu sebelum menjadi kenyataan.
Kelima, demoralisasi birokrasi sipil, tentara dan polisi dalam bentuk pupusnya keyakinan mereka atas makna pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat. Demoralisasi itu, pada kadar yang rendah dipengaruhi oleh merosotnya nilai gaji yang mereka terima akibat krisis ekonomi.
Kemerosotan itu umumnya terjadi akibat inflasi. Tetapi dalam kasus tertentu hal itu diakibatkan oleh kebijakan pemerintah untuk menurunkan gaji mereka atau membayar kurang dari 100 persen dan sisanya menjadi utang pemerintah. Pada tingkat tinggi, demoralisasi itu berupa hilangnya kepercayaan mereka terhadap nilai pengabdian setelah mengalami tekanan-tekanan psikologis yang berat dalam waktu lama akibat krisis politik yang akut. Dalam situasi seperti ini, tentara dan polisi yang seyogianya mencegah konflik sosial malah bisa tergiring untuk mengambil bagian dalam konflik itu dengan berbagai alasan. Secara teoretik, ketika negara tidak lagi memberi harga yang pantas terhadap pengorbanan tentara dan polisi dalam menjaga integrasi bangsa, maka tempat paling aman bagi segmen-segmen tertentu dari mereka adalah kelompok-kelompok sosial di mana mereka bisa mengidentikkan dirinya. Karena itu, demoralisasi tentara dan polisi amat rawan terhadap perluasan dan intensitas konflik sosial yang sedang terjadi. Keterlibatan yang luas dari tentara dan polisi dalam konflik sosial akan mengkonversi konflik itu sendiri menjadi perang saudara yang justru merupakan episode terakhir dari proses disintegrasi bangsa dan keruntuhan sebuah negara.

IV.Alternatif Kebijakan

Hampir semua ahli ekonomi yang melihat fenomena krisis ekonomi di Indonesia sependapat bahwa akar dari krisis ekonomi yang berkepenjangan di Indonesia adalah karena disebabkan oleh distribusi penguasaan asset-aset perekonomian yang tidak merata. Oleh karena itu kebijakan ekonomi Indonesia yang selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru dan sampai saat ini masih bertumpu pada penguasaan modal oleh segelintir konglomerat harus segera mulai diarahkan pada kepada ekonomi yang yang bercorak kerakyatan dengan koperasi sebagai lokomotifnya sesuai amanat UUD 1945.
Perpecahan yang terjadi antara elit ditingkat nasional telah merembes sampai ketingkat paling rendah dari struktur negara yang pada gilirannya membuat bargaining potition Negara menjadi semakin lemah dalam menghadapi berbagai tuntutan separatisme karena perbedaan konsep antar elit tersebut tidak dapat diformulasikan menjadi suatu kebijakan bersama yang saling memberi kekuatan untuk kepentingan bersama. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan untuk dapat membuat system yang saling memberi kekuatan bagi elit nasional dalam menghadapi permasalahan bersama dengan semangat chek and balances.
Krisis sosial dan disharmoni antara warga masyarakat dalam suatu pada umumnya dimulai dari adanya rasa ketidak adilan sosial diantara warga masyarakat dan rasa tidak aman untuk hidup bersasma sebagai satu masyarakat. Dalam masyarakat dengan kondisi seperti ini akan sangat rentan terhadap provokasi dari pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang menginginkan terjadinya dis-integrasi bangsa. Untuk itu harus dapat dirumuskan suatu kebijakan yang dapat menjamin rasa aman dan rasa keadilan warga masyarakat yang tidak lain adalah penegakkan hukum secara adil dan jaminan bagi warga Negara untuk memiliki kedudukan yang sama didepan hukum.
Dalam era globalisasi seperti sekarang ini saling ketergantungan antar bangsa dan antar Negara adalah sesuatu yang lumrah terjadi. Yang menjadi masalah adalah apabila ketergantungan tersebut menjadi tidak seimbang pihak yang kuat akan terdorong untuk mengendalikan pihak yang tergantung padanya untuk keuntungannya sendiri tanpa peduli nasib pihak yang tergantung padanya tersebut. Untuk bagi bangsa Indonesia yang ingin tetap berdiri tegak dalam pergaulan global dunia harus dapat memformulasikan suatu kebijakan yang yang dapat menjamin ketahanan nasional terhadap ketergantungan dari pihak luar secara berlebihan.
Aparatur Negara baik sipil, polisi maupun tentara mempunyai kedudukan yang sangat dominan bagi kelangsungan hidup suatu Negara. Dengan aparatur Negara yang baik maka kalangsungan hidup Negara dapat dijaga dengan baik. Untuk itu maka dalam kebijakan Negara harus dapat menjamin aparatur Negara dapat hidup secara cukup sehingga segala daya dan upayanya hanya ditujukan bagi kelangsungan Negara.

V. Rekomendasi Kebijakan

Untuk itu maka strategi dan upaya yang kami rekomendasikan dalam menjaga keutuhan bangsa dan mencegak disintegrasi nasional adalah sebagai berikut ;
Dalam kebijakan Negara harus dapat memberikan keadilan dan pemerataan ekonomi bagi seluruh warganya. Dalam kasus Indonesia harus ada kebijakan untuk merestrukturisasi penguasaan asset nasional yang tidak seimbang dengan memberi peluang bagi masyarakat luas untuk mempunyai akses terhadap modal dari perbankan.
Dalam kebijakan Negara harus dapat mengatur suatu system politik yang mengakomodir adanya perbedaan dengan tetap mengedepankan persatuan dan kesatuan. Dalam kasus Indonesia system rekruitmen elit nasional baik eksekutif, legislative maupun yudikatif sedapat mungkin harus dilakukan secara transparan serta susunan dan kedudukan antara lembaga-lembaga Negara harus dapat mengatur dengan jelas batas-batas kewenangan masing-masing lembaga tidak ada ketidak jelasan tumpang tindih kewenangan antar lembaga Negara.
Dalam kebijakan Negara harus mengutamakan penegakan hukum dengan keharusan menempatkan setiap warga Negara mempunyai kedudukan yang sam didepan hukum dan memperoleh kepastian hukum secara adil.
Dalam kebijakan negara harus dapat mengatur dan menjamin pertahanan dan keamanan Negara dalam segala segi baik dari struktur maupun infrastrukturnya.
Dalam kebijakan Negara harus dapat menjamin pemberian revenue bagi aparatur negara karena hanya apabila terpenuhi kebutuhanya secara cukup aparatur Negara dapat bekerja secar optimal dalam menjaga kelangsngan hidup Negara.


Daftar Pustaka
Suradinata Ermaya, 2003, Fenomena Disintegrasi Bangsa, Seminar nasional Dalam rangka PPM Angk. XI dan Dies Natalis XIII STPDN
Dunn William N. terj. Muhajir Darwin,1998, Analisa Kebijakan Publik, PT. Hanindita Graha Widya, Yogyakarta
Gautama, Chandra dan Marbun, B.N., 2000, Hak Asasi Manusia Penyelenggaraan Negara Yang Baik dan Masyarakat Warga, Komnas HAM
Permana, Setia,2003, Mempertanyakan Kembali Pluralisme Indonesia, Pikiran Rakyat 7 April 2003
Rasyid, Ryas,1998, Nasionalisme dan Demokrasi Indonesia Menghadapi Tantangan Globalisasi, PT. Yasrif Watampone, Jakarta
Rasyid,Madjid, Mahendra, 1998, Pemerintahan yang Amanah, PT.BINA RENA PARIWARA, Jakarta
Rasyid, Ryas, 2001, Faktor-faktor Penyebab Disintegrasi Bangsa dan Bubarnya Suatu Negara,Kompas 27 September 2001.
Suradinata, Ermaya, 2003, Fenomena Disintegrasi Bangsa, Seminar nasional Dalam rangka PPM Angk. XI dan Dies Natalis XIII STPDN